Anak Rantau yang Menulis Rindu lewat Internet
Esei: Nanang Suryadi
Anak Rantau yang Menulis Rindu lewat Internet
(Catatan bagi Ilusiminimalis Heri Letief)
Membaca sejumlah sajak Heri Latief dalam buku Ilusiminimalis yang terbit di akhir Februari 2003, semacam membaca buku catatan harian selama 3 tahun (2001-2003). Di situ kita dapat menemukan bagaimana perasaan sang penyair di saat jauh dari Tanah Air. Juga dapat ditemukan bagaimana perasaan penyair ketika sedang berada di tanah airnya itu. Heri si anak rantau menulis:
Aku, Anak Rantau
(1)
aku anak rantau
yang mencari makan di tong sampahmu
dan yang tidur di kolong langit
berselimut kardus bekas pisimu
aku anak rantau
berjalan kaki menuju rumah impian
yang dijanjikan nasib
dipermainkan peraturan untuk orang asing
karena aku numpang di kampungmu
aku anak rantau
mengirimkan sepotong sajak
untuk dibuang ke tong sampah
yang akan kupungut lagi
dan kujadikan toetje
untuk mencuci mulutku
aku, heri latief
anak rantau
…………………
…………………
Banyak sajak Heri Latief yang lain cenderung memiliki pola-pola yang sama dengan sajak di atas. Sindiran dengan memakai ironi dan paradoks seringkali muncul. Selain itu, penyair dengan sangat ringan memasukkan istilah yang dikenalnya, tanpa berhitung bahwa pembaca akan mengerti atau tidak. Seperti dalam sajak di atas, tiba-tiba muncul “toetje” dan mungkin pembaca harus membuka dulu kamus bahasa Belanda untuk mengetahuinya. Belum lagi bahasa asing yang diplesetkan-plesetkan ejaannya, yang akan membuat pembaca jadi bingung mencari maksudnya apa. Ada semacam kemiripan keberanian Heri Latief ini dengan sajak-sajak Darmanto Jatman dan Remi Silado, yang mencampur aduk berbagai bahasa dalam sajak-sajaknya. Pada Heri Latief, kita dapat menemukan: bahasa Indonesia (dengan dialek Betawi dan Padang), Inggris (yang diselewengkan ejaannya), Belanda, dan Jerman.
Heri Latief lebih kurang 20 tahun berada di Eropa (Jerman dan Belanda) dengan sekali dua pulang balik ke Tanah Air. Dari sajak-sajaknya dapat dirasakan bagaimana ia selalu memantau perkembangan tanah airnya. Yang meski carut marut tapi masih tetap dirindukannya. Ia menggambarkan kondisi Tanah Air, dari hasil pembacaannya dari berita-berita yang didapatkannya melalui internet. Baik melalui berita-berita dari media cetak yang meng-online-kan beritanya melalui internet, juga melalui diskusi dari berbagai mailing list yang diikutinya. Salah satu sajak yang menggambarkan kerinduannya pada Tanah Air (walaupun ia hanya menyebut Jakarta):
Aku Rindu Kamu Rindu Jakarta
aku rindu padamu, jakarta
tai ngambang di kali malang
bisa cerita panjang
tentang tokainya pendatang tanpa ktp
pergi tamasya dibawa arus ke muara
jadi makanannya belut dan ikan
yang kita santap dengan lalap
lapar adalag hak semua bangsa
sambal terasi temannya nasi
nasibnya bung tinja lebih diperhatikan
dibandingkan tingginya gunung pengangguran
ranjaunya kepincangan sosial bisa bikin kita sial
sakitnya perut melilit berisi angin doang
mulut yang jarang ngunyah sibuk menelan ludah
membayangkan pesta makan-makan…
di warteg si darga dekat pasar ratna
kita makan ini impian sekaligus
beserta piring dan glass belimbing
kita kunyah-kunyah macam shownya jarankepang
ah, jakarta bukan sembarangan kota
dia juga tempat para politikus mengerat lumbung
padi yang ditanam rakyat tidak membawa berkat
habis disedot mesinnya kekuasaan
yang tinggal hanya kenangan
bahwa negeri kita katanya kaya raya….
aku rindu padamu kota yang selalu sibuk
duapuluh lima jam sehari mereka kasak-kusuk
mencari materi yang menggiurkan batinmu
muka bertopeng monyet hati berlapis ilmukudu
ah ya, jakarta punya ‘cerita’ mambo warnanya
seperti pelangi sehabis hujan asam
yang membentang di balik gedung bertingkat
tempat uang dan komisi saling curhat!
hura-hura orang di jakarta
di atas kemiskinan rakyatnya….
17/05/2002
Pada sajak di atas, kita temukan bahwa Heri Latief ketika menulis sajak pikirannya bisa meloncat ke sana-kemari. Dari cerita tentang tai (yang dia sebut dengan berbagai macam istilah: tai, tokai, tinja) yang mengambang di kali malang (lihat, dia juga memperhatikan rima: “mengambang” dan “kalimalang”) tiba-tiba dia bercerita tentang politisi, kemiskinan, komisi, kekuasaan. Yang untungnya dibungkus dengan proporsi yang pas. Mungkin, Heri dapat mengelolanya dalam rangkaian kata-kata yang pas karena dia memahami betul tentang kota yang dilintasi tai para pendatang yang mengambang di kalimalang itu. Pada sajak-sajak lain, loncatan-loncatan ide yang tiba-tiba muncul dalam baris-baris sajaknya seringkali membuat sajak itu jadi kedodoran. Bangunan sajak yang di awalnya sudah imbang tiba-tiba dengan munculnya loncatan ide (yang gawatnya kalau muncul pernyataan yang terkesan gagah-gagahan) dalam kalimat yang sangat tidak puitis, menghancurkan bangunan sajaknya. Pernyataan sebagai sebuah kesimpulan oleh penyair memang akan menjadi menarik. Tetapi ketika kesimpulan itu muncul dalam pernyataan yang basi, yang sering diucapkan oleh banyak politisi atau komentator politik di televisi dan koran, menjadi sesuatu yang akan merusak bangunan sajak.
Heri Latief sangat bangga dengan Cybersatra dan Milist Penyair sebagai ajang proses kreatifnya. Penyair, salah satu milist yang pada tiga tahun terakhir Heri Latief rajin ikuti. Di sanalah karya-karyanya mula-mula ditebarkan untuk dibaca oleh segenap anggota milist tersebut. Interaksi yang terjalin melalui milist rupanya sangat mempengaruhi produktivitas dia dalam membuat sajak-sajak. Ia sangat bersemangat berkarya serta melontarkan ide-ide untuk terus mengembangkan sastra di dunia maya (internet). Salah satu idenya adalah untuk membentuk semacam organisasi untuk mewadahi meluapnya gairah beraktivitas itu. Yang mewujud dengan berdirinya Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Heri Latief adalah salah seorang pendirinya. Keterlibatannya dalam YMS semakin menggairahkannya untuk terus berkarya melalui internet. Karya-karyanya semakin banyak menghiasi layar-layar personal computer yang dapat diakses dari berbagai penjuru dunia.
Memang, nama dan karya-karyanya lebih banyak dikenal oleh para penggiat sastra di internet. Tapi bukan berarti karyanya tidak layak untuk diperhitungkan. Walau dalam salah satu sajaknya ia mengatakan: saya suka sebutan penyair sekedar. Tapi apakah kita dapat menyebutnya sebagai penyair sekedar, ketika kita menemukan bahwa ia sangat total terus berproses (paling tidak dalam tiga tahun terakhir) mengolah kata-kata, dijadikannya dalam rangkaian yang disebutnya sebagai sajak atau puisi. Ia yang percaya dengan kata-kata yang dapat mempengaruhi orang lain. Ia yang mempercayai kekuatan kata-kata. Sihir kata-kata. Ia yang menulis di depan PC, sebagai orang asing di negeri orang:
Orang Asing
yang mengasingkan dirinya sendiri
bersama sekotak chocolade
sebungkus chips
dan serenceng bier kaleng
proost!
2001
Dalam sajaknya yang lain, kita dapat menemukan penggambaran Heri Letief tentang negeri asingnya itu. Hingga pembaca, mungkin, dapat merasakan apa yang dialami sang penyair saat itu:
Metamorfosisme
di sini, hari ini, mendung, burung camar terbang
berkelompok, riuh swaranya, berebutan sepotong roti,
udara di luar rumah 5 derajat celcius, dingin, angin terasa
menyayat di kuping. di atas sepeda jengki, aku mengayuh
pedal, mencari enerji, mencari panas di dada, dan mata
tajam menatap jalan di depan, yang lurus, berjejeran
pohonan, gundul, tampak juga mulai ada tangkai baru,
yang akan menyambut musim semi, yang dimulai dengan
crockus lalu tulip lalu semua warna-warni bunga…
Penceritaan yang sangat rinci. Sesuatu yang betul-betul dialami oleh penyairnya. Yang bukan sekedar potret. Suasana yang diolah kembali oleh penyairnya menjadi rangkaian kata-kata yang menggiring imajinasi pembaca, sehingga dapat merasakan pengalaman puitik yang dirasakan penyairnya kala itu.
Sajak “Metamorfosisme” tersebut yang menyaran dengan kelembutan pengucapannya adalah satu model lain dari pengucapan yang dipakai Heri Latief. Sajak-sajak yang bernuansa lembut, yang tidak terlalu banyak meloncat-loncat dapat kita temui dalam beberapa sajaknya. Pengucapan model mana yang akan digunakan oleh Heri Latief untuk sajak-sajak berikutnya? Kita serahkan kepada Heri Latief yang terus berproses “menjadi”. Dan menurutku ia bukan penyair sekedar!
Depok, 4 Maret 2003
Anak Rantau yang Menulis Rindu lewat Internet
(Catatan bagi Ilusiminimalis Heri Letief)
Membaca sejumlah sajak Heri Latief dalam buku Ilusiminimalis yang terbit di akhir Februari 2003, semacam membaca buku catatan harian selama 3 tahun (2001-2003). Di situ kita dapat menemukan bagaimana perasaan sang penyair di saat jauh dari Tanah Air. Juga dapat ditemukan bagaimana perasaan penyair ketika sedang berada di tanah airnya itu. Heri si anak rantau menulis:
Aku, Anak Rantau
(1)
aku anak rantau
yang mencari makan di tong sampahmu
dan yang tidur di kolong langit
berselimut kardus bekas pisimu
aku anak rantau
berjalan kaki menuju rumah impian
yang dijanjikan nasib
dipermainkan peraturan untuk orang asing
karena aku numpang di kampungmu
aku anak rantau
mengirimkan sepotong sajak
untuk dibuang ke tong sampah
yang akan kupungut lagi
dan kujadikan toetje
untuk mencuci mulutku
aku, heri latief
anak rantau
…………………
…………………
Banyak sajak Heri Latief yang lain cenderung memiliki pola-pola yang sama dengan sajak di atas. Sindiran dengan memakai ironi dan paradoks seringkali muncul. Selain itu, penyair dengan sangat ringan memasukkan istilah yang dikenalnya, tanpa berhitung bahwa pembaca akan mengerti atau tidak. Seperti dalam sajak di atas, tiba-tiba muncul “toetje” dan mungkin pembaca harus membuka dulu kamus bahasa Belanda untuk mengetahuinya. Belum lagi bahasa asing yang diplesetkan-plesetkan ejaannya, yang akan membuat pembaca jadi bingung mencari maksudnya apa. Ada semacam kemiripan keberanian Heri Latief ini dengan sajak-sajak Darmanto Jatman dan Remi Silado, yang mencampur aduk berbagai bahasa dalam sajak-sajaknya. Pada Heri Latief, kita dapat menemukan: bahasa Indonesia (dengan dialek Betawi dan Padang), Inggris (yang diselewengkan ejaannya), Belanda, dan Jerman.
Heri Latief lebih kurang 20 tahun berada di Eropa (Jerman dan Belanda) dengan sekali dua pulang balik ke Tanah Air. Dari sajak-sajaknya dapat dirasakan bagaimana ia selalu memantau perkembangan tanah airnya. Yang meski carut marut tapi masih tetap dirindukannya. Ia menggambarkan kondisi Tanah Air, dari hasil pembacaannya dari berita-berita yang didapatkannya melalui internet. Baik melalui berita-berita dari media cetak yang meng-online-kan beritanya melalui internet, juga melalui diskusi dari berbagai mailing list yang diikutinya. Salah satu sajak yang menggambarkan kerinduannya pada Tanah Air (walaupun ia hanya menyebut Jakarta):
Aku Rindu Kamu Rindu Jakarta
aku rindu padamu, jakarta
tai ngambang di kali malang
bisa cerita panjang
tentang tokainya pendatang tanpa ktp
pergi tamasya dibawa arus ke muara
jadi makanannya belut dan ikan
yang kita santap dengan lalap
lapar adalag hak semua bangsa
sambal terasi temannya nasi
nasibnya bung tinja lebih diperhatikan
dibandingkan tingginya gunung pengangguran
ranjaunya kepincangan sosial bisa bikin kita sial
sakitnya perut melilit berisi angin doang
mulut yang jarang ngunyah sibuk menelan ludah
membayangkan pesta makan-makan…
di warteg si darga dekat pasar ratna
kita makan ini impian sekaligus
beserta piring dan glass belimbing
kita kunyah-kunyah macam shownya jarankepang
ah, jakarta bukan sembarangan kota
dia juga tempat para politikus mengerat lumbung
padi yang ditanam rakyat tidak membawa berkat
habis disedot mesinnya kekuasaan
yang tinggal hanya kenangan
bahwa negeri kita katanya kaya raya….
aku rindu padamu kota yang selalu sibuk
duapuluh lima jam sehari mereka kasak-kusuk
mencari materi yang menggiurkan batinmu
muka bertopeng monyet hati berlapis ilmukudu
ah ya, jakarta punya ‘cerita’ mambo warnanya
seperti pelangi sehabis hujan asam
yang membentang di balik gedung bertingkat
tempat uang dan komisi saling curhat!
hura-hura orang di jakarta
di atas kemiskinan rakyatnya….
17/05/2002
Pada sajak di atas, kita temukan bahwa Heri Latief ketika menulis sajak pikirannya bisa meloncat ke sana-kemari. Dari cerita tentang tai (yang dia sebut dengan berbagai macam istilah: tai, tokai, tinja) yang mengambang di kali malang (lihat, dia juga memperhatikan rima: “mengambang” dan “kalimalang”) tiba-tiba dia bercerita tentang politisi, kemiskinan, komisi, kekuasaan. Yang untungnya dibungkus dengan proporsi yang pas. Mungkin, Heri dapat mengelolanya dalam rangkaian kata-kata yang pas karena dia memahami betul tentang kota yang dilintasi tai para pendatang yang mengambang di kalimalang itu. Pada sajak-sajak lain, loncatan-loncatan ide yang tiba-tiba muncul dalam baris-baris sajaknya seringkali membuat sajak itu jadi kedodoran. Bangunan sajak yang di awalnya sudah imbang tiba-tiba dengan munculnya loncatan ide (yang gawatnya kalau muncul pernyataan yang terkesan gagah-gagahan) dalam kalimat yang sangat tidak puitis, menghancurkan bangunan sajaknya. Pernyataan sebagai sebuah kesimpulan oleh penyair memang akan menjadi menarik. Tetapi ketika kesimpulan itu muncul dalam pernyataan yang basi, yang sering diucapkan oleh banyak politisi atau komentator politik di televisi dan koran, menjadi sesuatu yang akan merusak bangunan sajak.
Heri Latief sangat bangga dengan Cybersatra dan Milist Penyair sebagai ajang proses kreatifnya. Penyair, salah satu milist yang pada tiga tahun terakhir Heri Latief rajin ikuti. Di sanalah karya-karyanya mula-mula ditebarkan untuk dibaca oleh segenap anggota milist tersebut. Interaksi yang terjalin melalui milist rupanya sangat mempengaruhi produktivitas dia dalam membuat sajak-sajak. Ia sangat bersemangat berkarya serta melontarkan ide-ide untuk terus mengembangkan sastra di dunia maya (internet). Salah satu idenya adalah untuk membentuk semacam organisasi untuk mewadahi meluapnya gairah beraktivitas itu. Yang mewujud dengan berdirinya Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Heri Latief adalah salah seorang pendirinya. Keterlibatannya dalam YMS semakin menggairahkannya untuk terus berkarya melalui internet. Karya-karyanya semakin banyak menghiasi layar-layar personal computer yang dapat diakses dari berbagai penjuru dunia.
Memang, nama dan karya-karyanya lebih banyak dikenal oleh para penggiat sastra di internet. Tapi bukan berarti karyanya tidak layak untuk diperhitungkan. Walau dalam salah satu sajaknya ia mengatakan: saya suka sebutan penyair sekedar. Tapi apakah kita dapat menyebutnya sebagai penyair sekedar, ketika kita menemukan bahwa ia sangat total terus berproses (paling tidak dalam tiga tahun terakhir) mengolah kata-kata, dijadikannya dalam rangkaian yang disebutnya sebagai sajak atau puisi. Ia yang percaya dengan kata-kata yang dapat mempengaruhi orang lain. Ia yang mempercayai kekuatan kata-kata. Sihir kata-kata. Ia yang menulis di depan PC, sebagai orang asing di negeri orang:
Orang Asing
yang mengasingkan dirinya sendiri
bersama sekotak chocolade
sebungkus chips
dan serenceng bier kaleng
proost!
2001
Dalam sajaknya yang lain, kita dapat menemukan penggambaran Heri Letief tentang negeri asingnya itu. Hingga pembaca, mungkin, dapat merasakan apa yang dialami sang penyair saat itu:
Metamorfosisme
di sini, hari ini, mendung, burung camar terbang
berkelompok, riuh swaranya, berebutan sepotong roti,
udara di luar rumah 5 derajat celcius, dingin, angin terasa
menyayat di kuping. di atas sepeda jengki, aku mengayuh
pedal, mencari enerji, mencari panas di dada, dan mata
tajam menatap jalan di depan, yang lurus, berjejeran
pohonan, gundul, tampak juga mulai ada tangkai baru,
yang akan menyambut musim semi, yang dimulai dengan
crockus lalu tulip lalu semua warna-warni bunga…
Penceritaan yang sangat rinci. Sesuatu yang betul-betul dialami oleh penyairnya. Yang bukan sekedar potret. Suasana yang diolah kembali oleh penyairnya menjadi rangkaian kata-kata yang menggiring imajinasi pembaca, sehingga dapat merasakan pengalaman puitik yang dirasakan penyairnya kala itu.
Sajak “Metamorfosisme” tersebut yang menyaran dengan kelembutan pengucapannya adalah satu model lain dari pengucapan yang dipakai Heri Latief. Sajak-sajak yang bernuansa lembut, yang tidak terlalu banyak meloncat-loncat dapat kita temui dalam beberapa sajaknya. Pengucapan model mana yang akan digunakan oleh Heri Latief untuk sajak-sajak berikutnya? Kita serahkan kepada Heri Latief yang terus berproses “menjadi”. Dan menurutku ia bukan penyair sekedar!
Depok, 4 Maret 2003