Proses Kreatifku (1)
Esei: Nanang Suryadi
Proses Kreatifku (1)
Pada November 2002, buku kumpulan puisiku “Telah Dialamatkan Padamu” terbit. Berbeda dengan buku-buku kumpulan puisiku sebelumnya: “Sketsa”, “Sajak di Usia Dua Satu”, “Orang Sendiri Membaca Diri” serta “Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis” --yang aku terbitkan dan cetak sendiri difotokopi atau dicetak offset, dengan jumlah paling banyak 200-an eksemplar-- bukuku yang terakhir ini diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional. Penerbitnya adalah Dewata Publishing.
Ketika aku memberitahu kepada rekan-rekan bukuku akan diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional, banyak dari mereka berkomentar: “wah kamu beruntung sekali”. Bahkan ada seorang penyair yang sudah sangat terkenal menunjukan keheranannya, “wah, masih ada juga ya, penerbit yang mau bikin proyek rugi.”
Memang, dalam dunia perbukuan di tanah air, menerbitkan karya-karya sastra terutama puisi dianggap tidak menguntungkan dalam hal perputaran modal yang ditanamkan. Dibandingkan dengan penerbitan buku-buku pelajaran atau buku-buku jenis lain yang perputaran kembalinya modal serta keuntungan kepada penerbit lebih cepat, buku-buku sastra lebih lambat. Di kelompok buku sastra, mungkin buku novel dan kumpulan cerpen lebih bernasib baik dalam hal menarik minat pembeli dibandingkan terhadap buku puisi.
Tapi syukurlah, hingga saat ini, di tanah air masih ada penerbit yang mau menerbitkan buku kumpulan puisi. Walaupun karya sastra yang diterbitkan sebagian besar adalah karya-karya sastrawan yang ternama, seperti: Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bahtiar, Soebagyo Sastrowardoyo, Ramadhan KH, Abdul Hadi WM, Darmanto Jatman, Hammid Jabbar, Toety Herati, Isma Sawitri, Slamet Sukirnanto, Ahmadun Yossi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Gus Tf dll. Selain itu ada kecenderungan para penerbit untuk menerbitkan terjemahan karya sastra dunia. Saat ini buku puisi dan prosa Kahlil Gibran yang paling banyak diterjemahkan oleh banyak penerbit, dan menghiasi rak-rak toko buku.
Aku teringat tulisan dari Budi Dharma dalam sebuah eseinya, para pembeli buku karya sastra menurut dugaan Budi Dharma adalah para: penulis sendiri serta orang-orang yang ingin menjadi penulis. Mungkin dugaan Budi Dharma itu tidak betul, karena ada pembaca yang benar-benar hanya pembaca, dan tidak ingin menjadi penulis, entah karena memang tidak berbakat untuk menulis atau tidak memiliki minat ke arah sana. Tapi, seseorang terdorong menjadi penulis karena membaca buku bukan sesuatu yang mustahil.
Aku sendiri, misalnya. Sejak kecil, sejak aku dapat membaca buku dengan baik, mungkin kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar, aku membaca banyak buku-buku cerita kanak, majalah-majalah, koran yang ada di rumahku. Aku kira kebiasaan di waktu kecil itu berpengaruh banyak kepadaku untuk membuat karangan. Waktu kecil, abahku sering mendongeng sambil berbaring-baring menunggu kantuk tiba. Aku, adikku dan kakak-kakakku sangat senang mendengarkan dongeng dari abahku itu. Dongeng-dongeng yang dibaca oleh abahku dari buku-buku atau majalah diceritakan kembali, dalam bahasa Sunda, bahasa yang dipakai abahku untuk berbicara dalam keluarga.
Dongeng-dongeng dalam bahasa Sunda selain diperkenalkan abahku melalui dongeng lisan menjelang tidur, juga aku baca sendiri dari buku-buku setelah aku dapat membaca. Aku sangat menyukai dongeng tentang sakadang kuya, sakadang monyet, sakadang peucang, sakadang buhaya, Si Kabayan, Sangkuriang, Lutung Kasarung. Penguasaan bahasa Sunda dalam keluargaku dipengaruhi oleh abahku yang berasal dari Bandung. Selain bahasa Sunda, akupun mengenal bahasa Jawa. Karena dalam keluargaku dipakai dua bahasa daerah, dari abahku aku mengenal bahasa Sunda, sedangkan dari ibuku serta teman-temanku bermain aku mengenal bahasa Jawa banten. Abahku selalu berbicara dalam bahasa Sunda, entah kepada anak-anaknya maupun kepada ibuku. Kami, anak-anaknya menJawab dalam bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Sedangkan ibuku, paling sering memakai bahasa Jawa bahkan jika berbicara dengan abah yang sedang berbicara dengan bahasa Sunda. Persoalan pemakaian bahasa yang campur aduk Jawa dan Sunda dalam keluargaku tidaklah menjadi persoalan, karena masing-masing sebenarnya memahami apa yang sedang dibicarakan.
Di rumahku banyak buku bacaan. Buku-buku dan majalah atau koran yang dilanggani abah dan ibuku, karena kantor tempat mereka bekerja mewajibkan berlangganan dengan dipotong dari gaji, menumpuk di rak-rak buku. Abah dan ibuku bekerja sebagai guru. Abahku mengajar di SD dan SMP, sedangkan ibuku mengajar sebagai guru agama di SD dan madrasah ibtidaiyah. Abah dan ibu selalu membawa majalah atau koran yang dilanggani itu setiap pulang mengambil gaji di awal bulan. Aku cepat-cepat meminta majalah itu dan mencari kolom dongeng, cerita serta komik di dalamnya, dan menikmati membaca sambil tidur-tiduran (kebiasaan yang tak bisa aku tinggalkan sampai kini, membaca sambil berbaring).
Selain majalah langganan dari instansinya itu, abahku juga sering membawakan aku buku-buku dari perpustakaan sekolah, yang aku baca sampai habis. Selain itu, aku ikut membaca majalah Bobo (majalah anak-anak) dan majalah Mangle (berbahasa Sunda) dari tetanggaku yang berlangganan. Hanya saja aku tidak diperbolehkan membaca majalah-majalah baru. Aku hanya membaca majalah-majalah yang sudah ditumpuk-tumpuk di rak. Suatu ketika, aku minta abahku berlangganan majalah Bobo. Abah memenuhi permintaanku itu. Aku mengenal Bobo, Deni Manusia Ikan, Juwita dan banyak lagi tokoh-tokoh rekaan dari majalah itu. Selain majalah Bobo saat itu aku juga membaca majalah Kuncung dan Ananda sesekali.
Perkenalan dengan dunia puisi lebih dekat, saat aku kelas lima diminta untuk mewakili sekolahku untuk ikut lomba baca puisi. Aku lupa, puisi apa yang aku baca saat itu. Sepertinya tidak berbeda jauh dengan lomba-lomba pembacaan puisi sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar dan Toto Sudarto Bahtiar yang sering menjadi bahan pembacaan puisi.
Saat kelas satu SMP, aku paling menonjol dalam pelajaran bahasa Indonesia. Pernah suatu ketika, guru bahasa Indonesiaku meminta murid-murid di kelasnya menulis sajak dan membacakannya di depan kelas. Saat itu aku menulis sajak bertemakan perjuangan, dan saat membacakannya dengan suara yang lantang dan berapi-api. Aku sangat ingat, Ibu Rahayu, nama guru bahasa Indonesiaku, saat itu langsung memberikan nilai 9 di atas kertas puisiku. Wah, senang sekali rasanya.
Saat di SMP, aku sering meminjam buku-buku sastra di perpustakaan sekolah. Pengelola perpustakaan bernama Bapak Sulaiman, yang sering juga dipanggil Pak Leman. Ia banyak berperan dalam memperkenalkan sastra kepadaku. Jika ada kegiatan lomba pembacaan puisi aku sering diminta untuk mewakili sekolah bersama seorang kakak kelas perempuan. Kakak kelasku itu sampai aku SMA sering bersama-sama aku mewakili sekolah dalam lomba baca puisi. Namanya Lisa Diana. Pada sebuah acara perpisahan kelas 3, Lisa Diana diikutkan Pak Leman membantu aku dan teman-teman sekelasku dalam penampilan parade pembacaan puisi. Pembacaan puisi dilakukan bersahut-sahutan.
Pada masa-masa itulah, aku mulai mencoret-coret bukuku, buku harianku, atau kertas apa saja. Aku mulai keranjingan menulis sajak. Banyak teman-teman yang meminta aku menuliskan sajak untuknya. Aku dengan senang hati menuliskan sajak untuk mereka. Entah sajak jenis apa, aku sudah lupa. Tapi saat ini sisa-sisa sajakku saat itu sepertinya masih ada, kalau aku cari lagi di tumpukan berkas-berkasku. Yang jelas, sajak-sajakku saat itu, tidak terlalu berbeda jauh dengan sajak para remaja yang mulai menulis sajak, yang biasanya semacam curahan hati dengan kata-kata yang patah dan emosional, atau kalau tidak menjadi sajak penuh nasehat yang normatif. Tapi aku sangat percaya diri dengan sajak-sajakku saat itu. Semua coretan-coretan yang aku anggap bagus, aku ketik ulang. Kemudian sajak-sajak itu aku jilid dan diberi sampul kertas yang berwarna-warni (hasil praktek keterampilan mewarna kertas dengan cara mencelupkan ke dalam air yang telah dicampur cat besi dalam berbagai warna). Sajak-sajak dalam manuskripku yang pertama itulah yang aku baca saat ada acara api unggun di awal aku masuk SMA.
Proses Kreatifku (1)
Pada November 2002, buku kumpulan puisiku “Telah Dialamatkan Padamu” terbit. Berbeda dengan buku-buku kumpulan puisiku sebelumnya: “Sketsa”, “Sajak di Usia Dua Satu”, “Orang Sendiri Membaca Diri” serta “Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis” --yang aku terbitkan dan cetak sendiri difotokopi atau dicetak offset, dengan jumlah paling banyak 200-an eksemplar-- bukuku yang terakhir ini diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional. Penerbitnya adalah Dewata Publishing.
Ketika aku memberitahu kepada rekan-rekan bukuku akan diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional, banyak dari mereka berkomentar: “wah kamu beruntung sekali”. Bahkan ada seorang penyair yang sudah sangat terkenal menunjukan keheranannya, “wah, masih ada juga ya, penerbit yang mau bikin proyek rugi.”
Memang, dalam dunia perbukuan di tanah air, menerbitkan karya-karya sastra terutama puisi dianggap tidak menguntungkan dalam hal perputaran modal yang ditanamkan. Dibandingkan dengan penerbitan buku-buku pelajaran atau buku-buku jenis lain yang perputaran kembalinya modal serta keuntungan kepada penerbit lebih cepat, buku-buku sastra lebih lambat. Di kelompok buku sastra, mungkin buku novel dan kumpulan cerpen lebih bernasib baik dalam hal menarik minat pembeli dibandingkan terhadap buku puisi.
Tapi syukurlah, hingga saat ini, di tanah air masih ada penerbit yang mau menerbitkan buku kumpulan puisi. Walaupun karya sastra yang diterbitkan sebagian besar adalah karya-karya sastrawan yang ternama, seperti: Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bahtiar, Soebagyo Sastrowardoyo, Ramadhan KH, Abdul Hadi WM, Darmanto Jatman, Hammid Jabbar, Toety Herati, Isma Sawitri, Slamet Sukirnanto, Ahmadun Yossi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Gus Tf dll. Selain itu ada kecenderungan para penerbit untuk menerbitkan terjemahan karya sastra dunia. Saat ini buku puisi dan prosa Kahlil Gibran yang paling banyak diterjemahkan oleh banyak penerbit, dan menghiasi rak-rak toko buku.
Aku teringat tulisan dari Budi Dharma dalam sebuah eseinya, para pembeli buku karya sastra menurut dugaan Budi Dharma adalah para: penulis sendiri serta orang-orang yang ingin menjadi penulis. Mungkin dugaan Budi Dharma itu tidak betul, karena ada pembaca yang benar-benar hanya pembaca, dan tidak ingin menjadi penulis, entah karena memang tidak berbakat untuk menulis atau tidak memiliki minat ke arah sana. Tapi, seseorang terdorong menjadi penulis karena membaca buku bukan sesuatu yang mustahil.
Aku sendiri, misalnya. Sejak kecil, sejak aku dapat membaca buku dengan baik, mungkin kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar, aku membaca banyak buku-buku cerita kanak, majalah-majalah, koran yang ada di rumahku. Aku kira kebiasaan di waktu kecil itu berpengaruh banyak kepadaku untuk membuat karangan. Waktu kecil, abahku sering mendongeng sambil berbaring-baring menunggu kantuk tiba. Aku, adikku dan kakak-kakakku sangat senang mendengarkan dongeng dari abahku itu. Dongeng-dongeng yang dibaca oleh abahku dari buku-buku atau majalah diceritakan kembali, dalam bahasa Sunda, bahasa yang dipakai abahku untuk berbicara dalam keluarga.
Dongeng-dongeng dalam bahasa Sunda selain diperkenalkan abahku melalui dongeng lisan menjelang tidur, juga aku baca sendiri dari buku-buku setelah aku dapat membaca. Aku sangat menyukai dongeng tentang sakadang kuya, sakadang monyet, sakadang peucang, sakadang buhaya, Si Kabayan, Sangkuriang, Lutung Kasarung. Penguasaan bahasa Sunda dalam keluargaku dipengaruhi oleh abahku yang berasal dari Bandung. Selain bahasa Sunda, akupun mengenal bahasa Jawa. Karena dalam keluargaku dipakai dua bahasa daerah, dari abahku aku mengenal bahasa Sunda, sedangkan dari ibuku serta teman-temanku bermain aku mengenal bahasa Jawa banten. Abahku selalu berbicara dalam bahasa Sunda, entah kepada anak-anaknya maupun kepada ibuku. Kami, anak-anaknya menJawab dalam bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Sedangkan ibuku, paling sering memakai bahasa Jawa bahkan jika berbicara dengan abah yang sedang berbicara dengan bahasa Sunda. Persoalan pemakaian bahasa yang campur aduk Jawa dan Sunda dalam keluargaku tidaklah menjadi persoalan, karena masing-masing sebenarnya memahami apa yang sedang dibicarakan.
Di rumahku banyak buku bacaan. Buku-buku dan majalah atau koran yang dilanggani abah dan ibuku, karena kantor tempat mereka bekerja mewajibkan berlangganan dengan dipotong dari gaji, menumpuk di rak-rak buku. Abah dan ibuku bekerja sebagai guru. Abahku mengajar di SD dan SMP, sedangkan ibuku mengajar sebagai guru agama di SD dan madrasah ibtidaiyah. Abah dan ibu selalu membawa majalah atau koran yang dilanggani itu setiap pulang mengambil gaji di awal bulan. Aku cepat-cepat meminta majalah itu dan mencari kolom dongeng, cerita serta komik di dalamnya, dan menikmati membaca sambil tidur-tiduran (kebiasaan yang tak bisa aku tinggalkan sampai kini, membaca sambil berbaring).
Selain majalah langganan dari instansinya itu, abahku juga sering membawakan aku buku-buku dari perpustakaan sekolah, yang aku baca sampai habis. Selain itu, aku ikut membaca majalah Bobo (majalah anak-anak) dan majalah Mangle (berbahasa Sunda) dari tetanggaku yang berlangganan. Hanya saja aku tidak diperbolehkan membaca majalah-majalah baru. Aku hanya membaca majalah-majalah yang sudah ditumpuk-tumpuk di rak. Suatu ketika, aku minta abahku berlangganan majalah Bobo. Abah memenuhi permintaanku itu. Aku mengenal Bobo, Deni Manusia Ikan, Juwita dan banyak lagi tokoh-tokoh rekaan dari majalah itu. Selain majalah Bobo saat itu aku juga membaca majalah Kuncung dan Ananda sesekali.
Perkenalan dengan dunia puisi lebih dekat, saat aku kelas lima diminta untuk mewakili sekolahku untuk ikut lomba baca puisi. Aku lupa, puisi apa yang aku baca saat itu. Sepertinya tidak berbeda jauh dengan lomba-lomba pembacaan puisi sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar dan Toto Sudarto Bahtiar yang sering menjadi bahan pembacaan puisi.
Saat kelas satu SMP, aku paling menonjol dalam pelajaran bahasa Indonesia. Pernah suatu ketika, guru bahasa Indonesiaku meminta murid-murid di kelasnya menulis sajak dan membacakannya di depan kelas. Saat itu aku menulis sajak bertemakan perjuangan, dan saat membacakannya dengan suara yang lantang dan berapi-api. Aku sangat ingat, Ibu Rahayu, nama guru bahasa Indonesiaku, saat itu langsung memberikan nilai 9 di atas kertas puisiku. Wah, senang sekali rasanya.
Saat di SMP, aku sering meminjam buku-buku sastra di perpustakaan sekolah. Pengelola perpustakaan bernama Bapak Sulaiman, yang sering juga dipanggil Pak Leman. Ia banyak berperan dalam memperkenalkan sastra kepadaku. Jika ada kegiatan lomba pembacaan puisi aku sering diminta untuk mewakili sekolah bersama seorang kakak kelas perempuan. Kakak kelasku itu sampai aku SMA sering bersama-sama aku mewakili sekolah dalam lomba baca puisi. Namanya Lisa Diana. Pada sebuah acara perpisahan kelas 3, Lisa Diana diikutkan Pak Leman membantu aku dan teman-teman sekelasku dalam penampilan parade pembacaan puisi. Pembacaan puisi dilakukan bersahut-sahutan.
Pada masa-masa itulah, aku mulai mencoret-coret bukuku, buku harianku, atau kertas apa saja. Aku mulai keranjingan menulis sajak. Banyak teman-teman yang meminta aku menuliskan sajak untuknya. Aku dengan senang hati menuliskan sajak untuk mereka. Entah sajak jenis apa, aku sudah lupa. Tapi saat ini sisa-sisa sajakku saat itu sepertinya masih ada, kalau aku cari lagi di tumpukan berkas-berkasku. Yang jelas, sajak-sajakku saat itu, tidak terlalu berbeda jauh dengan sajak para remaja yang mulai menulis sajak, yang biasanya semacam curahan hati dengan kata-kata yang patah dan emosional, atau kalau tidak menjadi sajak penuh nasehat yang normatif. Tapi aku sangat percaya diri dengan sajak-sajakku saat itu. Semua coretan-coretan yang aku anggap bagus, aku ketik ulang. Kemudian sajak-sajak itu aku jilid dan diberi sampul kertas yang berwarna-warni (hasil praktek keterampilan mewarna kertas dengan cara mencelupkan ke dalam air yang telah dicampur cat besi dalam berbagai warna). Sajak-sajak dalam manuskripku yang pertama itulah yang aku baca saat ada acara api unggun di awal aku masuk SMA.