ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Oleh: Nanang Suryadi

ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya?

Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku yang wajib dibacanya di sekolah menengah atau pada penataran-penataran. Kata orang, pada masa lalu telah terjadi peristiwa yang teramat carut marut, penuh kekerasan yang mengalirkan darah dan airmata. Dia adalah anak yang dibesarkan masa pembangunan orde baru, yang tak pernah menyaksikan atau merasakan pahit getirnya perjuangan revolusi 1945, serta kejadian-kejadian yang menyusul setelah itu, semacam Agresi Militer I dan II, Persidangan Konstituante, Peristiwa DI TII, Peristiwa PRRI-Permesta, Peristiwa pengkhianatan G30S PKI yang gagal serta disusul dengan runtuhnya rezim orde lama yang tidak menjalankan lagi Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta masih banyak lagi peristiwa yang hanya dapat didengar dari para orang tua dan dibacanya dari buku-buku sejarah.

Dia, seorang mahasiswa pada tahun 90-an pada sebuah universitas terkemuka di negeri ini, dengan pikiran-pikiran linear pada awal memasuki perkuliahan, berbekal pesan dari orang tua agar cepat lulus dengan nilai terbaik.Tapi apa mau dikata, sepertinya bukan salah bunda mengandung, Dia, yang memang sejak kecil menyukai dongeng-dongeng sejarah serta rajin membaca, ditambah lagi sedikit kemampuan menulis dan berrorganisasi (yang didapatnya pada sekolah menengah) tergoda untuk mencemplungkan diri pada sebuah arena permainan yang selama ini hanya dikenalnya dari buku-buku sejarah. Pada awalnya dia, yang menonjol bakat kepemimpinannya diajak mengikuti sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan mulailah perjalanan hidupnya diwarnai dengan berbagai hal, dan munculah kembali pertanyaan-pertanyaannya tentang sejarah. Kembali ia tergoda untuk meragukan berbagai hal yang diyakininya selama ini sebagai sebuah keyakinan sejarah yang tak dapat diganggu gugat. Dia membaca berbagai buku serta media massa dengan begitu lahapnya, tanpa memperdulikan dari mana sumber tulisan itu. Dia teramat lapar, ingin dilahapnya semua informasi yang didapatnya, karena dengan begitu, menurutnya akan didapatkan sebuah keseimbangan, sebuah keadilan dalam menilai segala sesuatu.

************

Berbicara dengannya seperti berbicara dengan sejarah yang berlalu lalang di depan mata. Referensi tentang berbagai hal, sepertinya telah dikuasainya dengan sangat mengagumkan. Janganlah lagi jika ditanya tentang gerakan mahasiswa, yang dapat diceritakan dan dianalisisnya secara luar biasa, tentang berbagai hal diluar itu pun seperti filsafat, seni, agama dan masih banyak lagi akan dibahasnya, dari berbagai sudut latar belakang sejarah.

Ada satu hal yang mungkin merupakan kekurangan (atau kelebihannya barangkali), selama ini aku tak melihat ada seorang wanitapun yang menjadi orang istimewa disampingnya atau sebutlah pacar atau kekasih yang menjadi tumpahan perasaan dan perhatiannya. Sepertinya ia memperlakakukan semua orang baik lelaki maupun perempuan dengan perlakuan serta perhatian yang sama. Ah, itu kan urusan dia ya? Mau punya pacar atau tidak, itu kan tidak ideologis, katanya suatu ketika. (Ha...ha.. aku sering ingin tertawa sendiri jika mendengar argumentasinya, sambil menjabarkan tentang segala hal tentang cinta, menurut Erich Fromm, Sigmund Freud, Gibran serta penyair-penyair romantis yang dikenalnya lewat buku-buku, dan menyimpulkannya sendiri dengan muara kepada dirinya sendiri. Dasar! ).

Boleh dibilang, Dia adalah sosok manusia yang humanis yang menempatkan cinta sebagai sebuah wacana universalitas, dan kehidupan manusia demikian penting sehingga harus diberi makna, sesuai kodratnya. Dia akan teramat marah, ketika ketidakadilan nampak di depan matanya. Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang mengetahui seluk beluk intrik politik dan permasalahan dalam masyarakat, lengkap dengan teori-teori yang didapat dari buku bacaannya ia seringkali menulis tentang berbagai hal tersebut.

Aku sering membaca tulisan-tulisannya itu baik essay, kolom, artikel, cerpen dan puisi. Ya, rupanya dia memiliki kemampuan lebih dalam dunia tulis menulis. Mungkin kegelisahan yang ia rasakan selama ini membuahkan inspirasi bagi tulisan-tulisannya.

***********

Suatu ketika, aku disodori beberapa tulisannya tentang fenomena kerusuhan yang melanda di segala penjuru tanah air. Sambil mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar, aku membaca tulisan-tulisan yang hendak dikirimkannya ke media massa di ibukota. Wah, sepertinya dia teramat marah dan sangat emosional dalam menyikapi permasalahan ini. Seakan dia lupa, bahwa dalam menyikapi sesuatu harus seimbang dan adil penuh objektivitas, seperti yang dikatakannya padaku dulu. Kini, ia teramat subyekif dan sentimentil, dan melantangkan kemarahannya pada satu titik tertentu.

Mungkin, pertemuanku denganya saat itu adalah pertemuan yang terakhir, karena sudah beberapa hari ini aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Mungkin dia mati atau ditangkap saat melakukan aksi, aku tak tahu. Tak ada sumber berita yang dapat aku korek dengan jelas. Yang pasti, sosoknya itu dan pemikiran-pemikirannya telah membuahkan inspirasi bagiku.

Aku belajar menulis kepadanya, menulis essay, cerpen, artikel, kolom, serta puisi. Dia sangat suka kalau aku sodori puisi-puisi yang bertemakan sosial. Katanya, nah ini baru puisi namanya. Aku teringat Dia, seseorang yang berarti bagi sekelilingnya, walau mungkin sejarah tak mencatatnya. Karena katanya, Sejarah hanya milik orang-orang besar dan serdadu!

Untuknya aku pernah menulis begini:

Bicaralah, aku kan mendengarkan kata-katamu sebagai bisikan pilu dari seorang manusia yang menghuni dunia sakit jiwa. Tatapan kosong. Senyum yang ditebarkan pada ruang. Kau lihatkah Freud menyorotkan senternya ke dalam matamu. Menemukan deretan panjang keluhan, ditekan dalam ke alam bawah sadarmu yang gelap. Berapa lagi pil penenang yang harus ditelan untuk melupakan mimpi buruk kenyataan yang berulang datang, dan lari ke dunia mimpi.
Langkah itu begitu ganjil bikin tatapan heran sekelilingmu yang penuh tatakrama. Penuh aturan manusia. Adat istiadat yang mengharuskan kau berbuat normal.Lampu senter yang disorotkan ke dalam mata. melihat keterasingan di dalamnya. Penuh makian!


Dia pun tertawa membacanya, dan berkomentar: ah, kau anggap aku gila ya...mungkin benar juga, tapi sepertinya kita dihimpit oleh persoalan-persoalan yang membelenggu pemakanaan terhadap kehidupan manusia.

****


Namun, ada beberapa tulisan lagi yang belum dibacanya, yang aku tulis setelah pembicaraan tempo hari, mungkin aku terpengaruh argumentasinya.

Meledak juga akhirnya, kemarahan itu, membakar gedung-gedung serta harta benda yang begitu kau cintai. Massa yang mungkin sukar kau mengerti maunya. Orang-orang yang menyimpan api dalam kepalanya dari waktu ke waktu, rasakan berjuta perasaan dalam dada bergalau tak karuan. Orang-orang yang memandang pameran kemewahan, namun mereka tiada mampu memilikinya, walau keringat telah diperas begitu deras, walau tulang belulang telah dibanting dengan begitu keras. Namun tetap saja yang terlihat ketidakadilan yang disodorkan di mana-mana. Mengapa kau tanyakan lagi; apa sebab kerusuhan itu terjadi. Darah membanjir. Air mata mengalir. Sedangkan jeritan itu tiap detik diperdengarkan meminta perhatianmu. Dan tak juga telingamu mendengarnya?

Jemariku melukis dengan gemetar sebuah kota yang gemuruh, yang mencampakkan orang--orang yang kesepian ke dalam plaza, diskotik, cafe yang riuh serta ruang hotel hendak lunaskan mimpi senggama. Karena industrialisasi (juga modernisasi + westernisasi) telah mencemplungkan mereka ke dalam limbah-limbah pabrik dan melemparkannya ke udara yang pengap. Namun tak jera juga manusia mengadu nasibnya dengan map penuh kertas di tangan mengetuk pintu-pintu kantor, dimana mimpi-mimpi akan di simpan di dalamnya .

Dan pada kerusuhan yang meledak di segala penjuru. Kita tatap wajah siapa. Selain orang-orang yang lelah dan benak penuh api, yang akan membakar, apa saja. Di tanganku yang gemetar, kota yang meledak menggigilkan harapan ke sudut-sudut peradaban.


Malang, 22 Juli 1997

Popular posts from this blog

FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR: KOMUNITAS DAN MEDIA

Terbit! Buku Puisi: Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya

Kemarau