INTERAKSI SAJAK (1)
Esei: Nanang Suryadi
INTERAKSI SAJAK (1)
Sajak tercipta sebagai sebuah reaksi terhadap sesuatu hal yang menyentuh relung puitik seorang penyair. Sebenarnya tak ada yang mengharuskannya menuliskan pengalaman puitiknya itu menjadi sebuah karya. Ia bisa menyimpannya menjadi sebuah pengalaman individual, tak perlu orang lain tahu. Tapi, secara manusiawi banyak orang akan mengabarkan apa yang dirasakannya kepada orang lain, entah itu perasaan suka tak suka, sedih, gembira, marah dan sebagainya. Ya, penyair dalam hal ini ketika menulis sajak-sajaknya ia telah menjadi orang yang mengabarkan sesuatu yang terjadi dalam dirinya saat berinteraksi dengan berbagai hal di luar dirinya.
Apakah sebuah sajak dapat mewakili dengan utuh "Puisi" (dengan P besar, sebagai pengalaman puitik sang penyair). Kata-kata atau bahasa memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk mengungkapkan pengalaman puitik tersebut. Jika saja ada sebuah alat yang dapat menghubungkan kepala penyair dengan kepala penikmatnya (seorang rekan menyebutnya alat intersubyektif) tentu tak diperlukan lagi kata-kata atau bahasa untuk mengabarkan pengalaman puitik itu. Bahasa bisa berlebih-lebihan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi, atau sebaliknya ia bisa mengurang-ngurangi apa yang sesungguhnya terjadi. Dan sesungguhnya tak semua bisa dikatakan dengan ungkapan verbal dengan bahasa yang terucap oleh mulut. Seringkali lewat tatap mata, atau gerak tubuh dapat dapat bercerita banyak dibandingkan dengan kata-kata yang terucap atau tertulis.
Seringkali dikatakan bahwa penyair adalah orang yang sering melebih-lebihkan, menceritakan hal-hal yang tak pernah dialaminya. Dengan kata lain penyair menjadi sosok tertuduh sebagai pendusta. Jika ini dihubungkan dengan keterbatasan kata atau bahasa sebagai alat ungkap, kemungkinan besar itu akan terjadi. Seorang penyair dengan memakai kata-kata atau bahasa tulis yang penuh dengan keterbatasan itu, akan menjadi berlebih-lebihan atau sebaliknya mengurangi apa yang dialami (pengalaman puitik) yang didapatnya dari sebuah interaksi.
Dalam mengungkapkan pengalaman puitiknya itu, seorang penyair berusaha memaksimalkan kemampuan kata-kata (bahasa), yang terbatas itu, menjadikan sajak seakan-akan menayang ulang kejadian puitik yang sesungguhnya. Sebuah sajak yang dapat mengungkap kembali pengalaman puitik sang penyair akan ditangkap oleh pembaca sebagaimana yang ingin diungkapkan. Berbagai teknik dapat dicoba untuk itu. Efek-efek yang timbul dari sajak diharapkan dapat mengungkap kembali hal-hal yang berhubungan dengan bunyi, pemandangan, rasa di lidah, bau di hidung, kasar halus pada kulit sesuai dengan pengalaman puitik yang didapat penyairnya.
Seorang penyair yang merasa telah mapan dengan teknik yang ia kuasai, cenderung malas untuk mencoba-coba. Ia merasa, dengan mencoba-coba maka ia tak memiliki gaya unik yang miliknya sendiri. Dan itu berarti karya-karyanya akan menjadi tak teridentifikasi sebagai karyanya yang orisinal.
INTERAKSI SAJAK (1)
Sajak tercipta sebagai sebuah reaksi terhadap sesuatu hal yang menyentuh relung puitik seorang penyair. Sebenarnya tak ada yang mengharuskannya menuliskan pengalaman puitiknya itu menjadi sebuah karya. Ia bisa menyimpannya menjadi sebuah pengalaman individual, tak perlu orang lain tahu. Tapi, secara manusiawi banyak orang akan mengabarkan apa yang dirasakannya kepada orang lain, entah itu perasaan suka tak suka, sedih, gembira, marah dan sebagainya. Ya, penyair dalam hal ini ketika menulis sajak-sajaknya ia telah menjadi orang yang mengabarkan sesuatu yang terjadi dalam dirinya saat berinteraksi dengan berbagai hal di luar dirinya.
Apakah sebuah sajak dapat mewakili dengan utuh "Puisi" (dengan P besar, sebagai pengalaman puitik sang penyair). Kata-kata atau bahasa memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk mengungkapkan pengalaman puitik tersebut. Jika saja ada sebuah alat yang dapat menghubungkan kepala penyair dengan kepala penikmatnya (seorang rekan menyebutnya alat intersubyektif) tentu tak diperlukan lagi kata-kata atau bahasa untuk mengabarkan pengalaman puitik itu. Bahasa bisa berlebih-lebihan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi, atau sebaliknya ia bisa mengurang-ngurangi apa yang sesungguhnya terjadi. Dan sesungguhnya tak semua bisa dikatakan dengan ungkapan verbal dengan bahasa yang terucap oleh mulut. Seringkali lewat tatap mata, atau gerak tubuh dapat dapat bercerita banyak dibandingkan dengan kata-kata yang terucap atau tertulis.
Seringkali dikatakan bahwa penyair adalah orang yang sering melebih-lebihkan, menceritakan hal-hal yang tak pernah dialaminya. Dengan kata lain penyair menjadi sosok tertuduh sebagai pendusta. Jika ini dihubungkan dengan keterbatasan kata atau bahasa sebagai alat ungkap, kemungkinan besar itu akan terjadi. Seorang penyair dengan memakai kata-kata atau bahasa tulis yang penuh dengan keterbatasan itu, akan menjadi berlebih-lebihan atau sebaliknya mengurangi apa yang dialami (pengalaman puitik) yang didapatnya dari sebuah interaksi.
Dalam mengungkapkan pengalaman puitiknya itu, seorang penyair berusaha memaksimalkan kemampuan kata-kata (bahasa), yang terbatas itu, menjadikan sajak seakan-akan menayang ulang kejadian puitik yang sesungguhnya. Sebuah sajak yang dapat mengungkap kembali pengalaman puitik sang penyair akan ditangkap oleh pembaca sebagaimana yang ingin diungkapkan. Berbagai teknik dapat dicoba untuk itu. Efek-efek yang timbul dari sajak diharapkan dapat mengungkap kembali hal-hal yang berhubungan dengan bunyi, pemandangan, rasa di lidah, bau di hidung, kasar halus pada kulit sesuai dengan pengalaman puitik yang didapat penyairnya.
Seorang penyair yang merasa telah mapan dengan teknik yang ia kuasai, cenderung malas untuk mencoba-coba. Ia merasa, dengan mencoba-coba maka ia tak memiliki gaya unik yang miliknya sendiri. Dan itu berarti karya-karyanya akan menjadi tak teridentifikasi sebagai karyanya yang orisinal.