Beberapa Permasalahan Kritik Sastra Indonesia
Beberapa Permasalahan Kritik Sastra Indonesia
Dalam sebuah essaynya Saut Situmorang menyimpulkan sekaligus bertanya tentang krisis sastra Indonesia "Jadi apa yang terjadi di Indonesia sejak jaman Balai Pustaka sampai jaman Windows98 sekarang adalah krisis kritik sastra yang nampaknya belum ada tanda-tanda bakal berubah. Quo Vadis, kritik sastra Indonesia?" (1) Setelah membaca berbagai artikel tentang kritik sastra Indonesia, saya coba menarik benang merah, apakah sinyalemen Saut Situmorang itu benar adanya. Dalam acara membedah karya Goenawan Mohammad, 21 Maret 2000, di TIM, F Rahardi menyatakan, "membaca sekaligus memahami puisi Goenawan Mohamad bukanlah perkara mudah. Butuh kerja keras dan kerutan dahi untuk memahami belantara kata-kata yang ditanamnya. Semua itu bermula dari tradisi Goenawan dalam menulis puisi yang kental dengan referensi. Puisi mantan Pemimpin Redaksi Tempo itu dinilai banyak dilatari kecerdasan, pengetahuan, dan pengalaman yang posisinya berada di atas rata-rata orang Indonesia."(2) Sebenarnya, bukan hanya Goenawan Mohamad yang bisa seperti itu. Sajak-sajak referensial semakin banyak dapat kita temukan dalam khazanah sastra berbahasa Indonesia. Dengan demikian seorang kritikus semakin ditantang untuk banyak tahu tentang segala hal atau dalam ungkapan Sapardi Djoko Damono, pengkritik harus lebih pintar dari yang dikritik. Lebih jauh lagi, mungkin kita dapat mendengarkan impian seorang Nirwan Dewanto, katanya:"dapatkah kita bayangkan seorang kritikus atau penelaah sastra lulusan sebuah universitas di Jakarta atau Yogyakarta yang pada suatu hari menelaah puisi liris Indonesia 1968-1990 bukan sebagai sebagai kelanjutan atau pencanggihan puisi "angkatan" sebelumnya namun sebagai risiko wajar dari tumbuhnya puisi modern di khazanah mana pun? " (3) Namun demikian, perkembangan kritik sastra Indonesia, tidak seperti impian Nirwan Dewanto. Ternyata Sastra Indonesia masih menyimpan berbagai permasalahan. Persoalan pusat dan daerah yang muncul dalam permasalahan politik akhir-akhir ini, mencuat juga dalam perbincangan tentang sastra. Dalam sebuah pertemuan sastra, Mursal Esten melukiskan betapa salah kaprahnya penguasa sastra atau orang-orang di pusat yang menilai Saman karya Ayu Utami sebagai karya Indonesia terbaik dan dipuji selangit. padahal menurutnya karya Ediruslan jauh lebih baik daripada karya Ayu. Mengapa itu bisa terjadi? Mursal menduga mungkin menurut penguasa sastra di Jakarta yang nuansa daerah tinggi tidak perlu diberi tempat. Dalam karya sastra, bisa saja unsur Jawa, Minang atau Melayu-nya begitu kental dan itu tetap sastra Indonesia. selama ini karya sastra yang nuansa kedaerahnnya kental terutama Melayu cenderung terpinggirkan. Namun bagi sastrawan di daerah hal itu tak menjadi masalah sebab pusat daerah pun bisa jadi pusat-pusat kebudayaan. (4). Dengan demikian, pada kasus ini, kritik sastra merupakan sebuah perbincangan tentang sastra politik yang berbicara tentang penguasa sastra yang mendominasi arus opini masyarakat terhadap perkembangan sastra. Gejala pemusatan kritik sastra yang disinyalir Mursal Esten itu sebenarnya pernah disimbolkan oleh seorang HB. Jassin, yang sering disebut paus sastra, dan dianggap dapat memberikan legitimasi apakah seseorang layak disebut sastrawan atau tidak. Tapi, menurut Agus Noor, kritik sastra saat ini telah kehilangan kekuatan legitimasinya, sebagaimana masa HB. Jassin, tahun 60-an, yang mampu mengukuhkan kehadiran karya sastra dan sastrawan melalui kritik-kritiknya.
Perubahan inilah yang bisa jadi kemudian menjadi sumber "kekecewaan" terhadap kritik sastra kita, yang tak bisa lagi mengukuhkan satu pelopor, angkatan, atau kecenderungan estetik tertentu, meski cukup banyak kritikus yang terus menuliskan pandangan-pandangannya. Seiring dengan merebaknya postmodernisme dalam kebudayaan kita, kritik sastra juga mengalami peluruhan-peluruhan. Kebebasan menginterpretasi karya, keberagaman pandangan, menjadikan setiap karya sastra bisa dimasuki dari mana saja. Hal itu membawa konsekwensi: tak adanya pandangan atau penilaian dominan yang dianggap mutlak kesahihannya. (5) Namun demikian, masih ada sebagian kalangan yang melihat kritikus sastra adalah sebagai sebuah hasil pendidikan resmi sebuah institusi bernama fakultas sastra. Seperti terungkap dalam pernyataan Yono Wardito, seorang penggiat sastra internet dalam sebuah diskusi "yang memiliki kapabilitas sebagai seorang kritikus sastra adalah para kalangan dari akademisi sastra. diluar dari itu boleh, namun yang harus dipertanyakan dari mereka adalah kemampuan kritis yang akseptabel,mumpuni dan mempunyai nalar kemana arah karya yang dikritik tersebut akan di interpretasikan, hal ini memang harus ada, karena seperti kita ketahui bahwa banyak terjadi sebuah karya yang di kritik oleh banyak kalangan diluar akademisi seperti kehilangan nilai. Saya tidak mengatakan bahwa yang di luar akademisi supaya tidak berfungsi sebagai kritikus, tidak, tapi hal yang terjadi adalah adanya "effortless" nilai-nilai suatu karya di mata publik, terutama para penikmat, padahal bukankah telah ada "kesepakatan" bahwa para kritikus tersebut sebagai The Bridge Linking antara Kreator,Penggiat Seni, dan Publik ?" (6) Apakah akedemisi sastra (yang dipersepsikan memiliki bergudang-gudang teori) mampu menjawab tantangan kritik sastra terkini? Budi Darma, dalam sebuah essay mengingat HB Jassin mengatakan: "Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori- teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.(7) Mengapa Budi Darma sampai menyatakan hal tersebut? Bukankah teori menjadi suatu alat bagi seorang akademisi untuk membedah sebuah fenomena. Dengan peringatan Budi Darma ini, seakan-akan teori telah menjadi sebuah ajang gagah-gagahan. Mungkin. Karena sebagai seorang akademisi sastra yang sekaligus praktisi kratif sastra, pernyataannya adalah sebuah hal yang mengejutkan Walau demikian, sesungguhnya jika tepat pemakainnya, teori sastra, paling tidak dapat melihat fenomena sastra dengan lebih objektif Kegunanaan kritik sastra, meminjam pernyataan Mursal Esten, tidak saja memberikan penilaian buruk dan baik kepada pembaca, tetapi juga menjelaskan nilai-nilai dan dimensi-dimensi yang tersembunyi serta terkandung di dalam sebuah karya sastra. Oleh karena itu kritik sastra harus mampu mengikuti perkembangan sastra, mengenal konvensi-konvensi sastra yang hidup dan berkembang dan juga harus peka gejala-gejala pemberontakan terhadap konvensi tersebut. (8) Apakah kritik sastra Indonesia sebuah status quo, seperti ditanyakan Saut Situmorang. Sepertinya tidak juga. Dengan melihat beberapa ilustrasi tersebut di atas, kritik sastra telah hadir berbeda dari pada masa lalu. Tentu saja dengan perbedaan-perbedaan pandangan tentang kritik sastra itu sendiri. Sebuah pluratitas. Mungkin masih ada yang melihatnya secara konservatif, namun ada juga yang melihatnya sesuatu yang dinamis, sebagaimana diungkapkan Agus Noor, "Kritik dan kritikus hanyalah teman dialog, yang membuka dan memberi peluang cara pandang, mendekati dan mengapresiasi." (9)
Dalam sebuah essaynya Saut Situmorang menyimpulkan sekaligus bertanya tentang krisis sastra Indonesia "Jadi apa yang terjadi di Indonesia sejak jaman Balai Pustaka sampai jaman Windows98 sekarang adalah krisis kritik sastra yang nampaknya belum ada tanda-tanda bakal berubah. Quo Vadis, kritik sastra Indonesia?" (1) Setelah membaca berbagai artikel tentang kritik sastra Indonesia, saya coba menarik benang merah, apakah sinyalemen Saut Situmorang itu benar adanya. Dalam acara membedah karya Goenawan Mohammad, 21 Maret 2000, di TIM, F Rahardi menyatakan, "membaca sekaligus memahami puisi Goenawan Mohamad bukanlah perkara mudah. Butuh kerja keras dan kerutan dahi untuk memahami belantara kata-kata yang ditanamnya. Semua itu bermula dari tradisi Goenawan dalam menulis puisi yang kental dengan referensi. Puisi mantan Pemimpin Redaksi Tempo itu dinilai banyak dilatari kecerdasan, pengetahuan, dan pengalaman yang posisinya berada di atas rata-rata orang Indonesia."(2) Sebenarnya, bukan hanya Goenawan Mohamad yang bisa seperti itu. Sajak-sajak referensial semakin banyak dapat kita temukan dalam khazanah sastra berbahasa Indonesia. Dengan demikian seorang kritikus semakin ditantang untuk banyak tahu tentang segala hal atau dalam ungkapan Sapardi Djoko Damono, pengkritik harus lebih pintar dari yang dikritik. Lebih jauh lagi, mungkin kita dapat mendengarkan impian seorang Nirwan Dewanto, katanya:"dapatkah kita bayangkan seorang kritikus atau penelaah sastra lulusan sebuah universitas di Jakarta atau Yogyakarta yang pada suatu hari menelaah puisi liris Indonesia 1968-1990 bukan sebagai sebagai kelanjutan atau pencanggihan puisi "angkatan" sebelumnya namun sebagai risiko wajar dari tumbuhnya puisi modern di khazanah mana pun? " (3) Namun demikian, perkembangan kritik sastra Indonesia, tidak seperti impian Nirwan Dewanto. Ternyata Sastra Indonesia masih menyimpan berbagai permasalahan. Persoalan pusat dan daerah yang muncul dalam permasalahan politik akhir-akhir ini, mencuat juga dalam perbincangan tentang sastra. Dalam sebuah pertemuan sastra, Mursal Esten melukiskan betapa salah kaprahnya penguasa sastra atau orang-orang di pusat yang menilai Saman karya Ayu Utami sebagai karya Indonesia terbaik dan dipuji selangit. padahal menurutnya karya Ediruslan jauh lebih baik daripada karya Ayu. Mengapa itu bisa terjadi? Mursal menduga mungkin menurut penguasa sastra di Jakarta yang nuansa daerah tinggi tidak perlu diberi tempat. Dalam karya sastra, bisa saja unsur Jawa, Minang atau Melayu-nya begitu kental dan itu tetap sastra Indonesia. selama ini karya sastra yang nuansa kedaerahnnya kental terutama Melayu cenderung terpinggirkan. Namun bagi sastrawan di daerah hal itu tak menjadi masalah sebab pusat daerah pun bisa jadi pusat-pusat kebudayaan. (4). Dengan demikian, pada kasus ini, kritik sastra merupakan sebuah perbincangan tentang sastra politik yang berbicara tentang penguasa sastra yang mendominasi arus opini masyarakat terhadap perkembangan sastra. Gejala pemusatan kritik sastra yang disinyalir Mursal Esten itu sebenarnya pernah disimbolkan oleh seorang HB. Jassin, yang sering disebut paus sastra, dan dianggap dapat memberikan legitimasi apakah seseorang layak disebut sastrawan atau tidak. Tapi, menurut Agus Noor, kritik sastra saat ini telah kehilangan kekuatan legitimasinya, sebagaimana masa HB. Jassin, tahun 60-an, yang mampu mengukuhkan kehadiran karya sastra dan sastrawan melalui kritik-kritiknya.
Perubahan inilah yang bisa jadi kemudian menjadi sumber "kekecewaan" terhadap kritik sastra kita, yang tak bisa lagi mengukuhkan satu pelopor, angkatan, atau kecenderungan estetik tertentu, meski cukup banyak kritikus yang terus menuliskan pandangan-pandangannya. Seiring dengan merebaknya postmodernisme dalam kebudayaan kita, kritik sastra juga mengalami peluruhan-peluruhan. Kebebasan menginterpretasi karya, keberagaman pandangan, menjadikan setiap karya sastra bisa dimasuki dari mana saja. Hal itu membawa konsekwensi: tak adanya pandangan atau penilaian dominan yang dianggap mutlak kesahihannya. (5) Namun demikian, masih ada sebagian kalangan yang melihat kritikus sastra adalah sebagai sebuah hasil pendidikan resmi sebuah institusi bernama fakultas sastra. Seperti terungkap dalam pernyataan Yono Wardito, seorang penggiat sastra internet dalam sebuah diskusi "yang memiliki kapabilitas sebagai seorang kritikus sastra adalah para kalangan dari akademisi sastra. diluar dari itu boleh, namun yang harus dipertanyakan dari mereka adalah kemampuan kritis yang akseptabel,mumpuni dan mempunyai nalar kemana arah karya yang dikritik tersebut akan di interpretasikan, hal ini memang harus ada, karena seperti kita ketahui bahwa banyak terjadi sebuah karya yang di kritik oleh banyak kalangan diluar akademisi seperti kehilangan nilai. Saya tidak mengatakan bahwa yang di luar akademisi supaya tidak berfungsi sebagai kritikus, tidak, tapi hal yang terjadi adalah adanya "effortless" nilai-nilai suatu karya di mata publik, terutama para penikmat, padahal bukankah telah ada "kesepakatan" bahwa para kritikus tersebut sebagai The Bridge Linking antara Kreator,Penggiat Seni, dan Publik ?" (6) Apakah akedemisi sastra (yang dipersepsikan memiliki bergudang-gudang teori) mampu menjawab tantangan kritik sastra terkini? Budi Darma, dalam sebuah essay mengingat HB Jassin mengatakan: "Ingat, kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula dengan teori- teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan ingat, kritik sastra yang diusahakan rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu, ternyata tidak jarang hanya bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.(7) Mengapa Budi Darma sampai menyatakan hal tersebut? Bukankah teori menjadi suatu alat bagi seorang akademisi untuk membedah sebuah fenomena. Dengan peringatan Budi Darma ini, seakan-akan teori telah menjadi sebuah ajang gagah-gagahan. Mungkin. Karena sebagai seorang akademisi sastra yang sekaligus praktisi kratif sastra, pernyataannya adalah sebuah hal yang mengejutkan Walau demikian, sesungguhnya jika tepat pemakainnya, teori sastra, paling tidak dapat melihat fenomena sastra dengan lebih objektif Kegunanaan kritik sastra, meminjam pernyataan Mursal Esten, tidak saja memberikan penilaian buruk dan baik kepada pembaca, tetapi juga menjelaskan nilai-nilai dan dimensi-dimensi yang tersembunyi serta terkandung di dalam sebuah karya sastra. Oleh karena itu kritik sastra harus mampu mengikuti perkembangan sastra, mengenal konvensi-konvensi sastra yang hidup dan berkembang dan juga harus peka gejala-gejala pemberontakan terhadap konvensi tersebut. (8) Apakah kritik sastra Indonesia sebuah status quo, seperti ditanyakan Saut Situmorang. Sepertinya tidak juga. Dengan melihat beberapa ilustrasi tersebut di atas, kritik sastra telah hadir berbeda dari pada masa lalu. Tentu saja dengan perbedaan-perbedaan pandangan tentang kritik sastra itu sendiri. Sebuah pluratitas. Mungkin masih ada yang melihatnya secara konservatif, namun ada juga yang melihatnya sesuatu yang dinamis, sebagaimana diungkapkan Agus Noor, "Kritik dan kritikus hanyalah teman dialog, yang membuka dan memberi peluang cara pandang, mendekati dan mengapresiasi." (9)