Posts

Kemarau

Cerpen: Nanang Suryadi Kemarau Sebenarnya aku tak pernah ingin menceritakan ini kepadamu. Karena tak ingin engkau menangis. Hingga telaga dalam matamu menjadi asin. Seperti laut. Mungkin akan ada badai gelombang di situ. Biarlah, tak akan pernah kuceritakan. Agar telaga di matamu seperti dulu, sejuk bening tenang yang akan kukunjungi setiap kali aku terbakar kemarau Aku menyimpan kemarau. Tak ingin kutitipkan di matamu. Karena tak mungkin engkau menanggungkan panasnya yang membakar. Hingga seperti terasa sumsum mengering. Biarlah di matamu hanya ada telaga yang akan kukunjungi setiap saat. Bila kemarau demikian bakar ubun kepalaku. Dari telagamu yang tenang dan bening kuciduk air dengan sepuluh jemari yang kurapatkan. Kusiram ke rambutku, ubun-ubun yang terbakar kemarau. Dengar desisnya demikian mengharukan. Hingga aku menangis. Dan tak ingin kau merasakan kemarau seperti ini. Kemarau yang membakar ubun-ubun kepalaku dengan demikian bengis. Pernah kumasukan kemarau ke dalam

ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Oleh: Nanang Suryadi ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya? Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang. Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku ya

SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1)

Esei: Nanang Suryadi SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1) Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sering membanggakan tahun-tahun masa kreatifnya tahun 1970-an. Ujarnya, “Tahun 1970-an adalah masa paling semarak dalam ekplorasi kesenian. Bukan hanya sastra tetapi juga dalam bidang seni lainnya: tari, teater, seni rupa. Dalam puisi berbagai perambahan dan pembebasan dilakukan.” Dengan mengacu kepada buku Korrie Layun Rampan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, SCB menunjukkan betapa sulitnya menemukan pembaharuan dalam sejarah sastra kita yang cukup panjang. Katanya, “Bolehlah dikatakan hampir selalu sejarah perpuisian modern sebagai suatu estafet Generasi berikutnya meski berlari sekencang abad teknologi ini, tetaplah masih saja memegang tongkat estafet dari generasi pendahulunya.” Ujarnya pula: “Pemikiran dan pembebasan puisi dari generasi sebelumnya, tahun 1970-an, masih merupakan landasan tempat bergerak dan bertumpunya kreatifitas penyair dari angkatan 2000-nya Korrie.” H

Proses Kreatifku (1)

Esei: Nanang Suryadi Proses Kreatifku (1) Pada November 2002, buku kumpulan puisiku “Telah Dialamatkan Padamu” terbit. Berbeda dengan buku-buku kumpulan puisiku sebelumnya: “Sketsa”, “Sajak di Usia Dua Satu”, “Orang Sendiri Membaca Diri” serta “Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis” --yang aku terbitkan dan cetak sendiri difotokopi atau dicetak offset, dengan jumlah paling banyak 200-an eksemplar-- bukuku yang terakhir ini diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional. Penerbitnya adalah Dewata Publishing. Ketika aku memberitahu kepada rekan-rekan bukuku akan diterbitkan oleh sebuah penerbit profesional, banyak dari mereka berkomentar: “wah kamu beruntung sekali”. Bahkan ada seorang penyair yang sudah sangat terkenal menunjukan keheranannya, “wah, masih ada juga ya, penerbit yang mau bikin proyek rugi.” Memang, dalam dunia perbukuan di tanah air, menerbitkan karya-karya sastra terutama puisi dianggap tidak menguntungkan dalam hal perputaran modal yang ditanamkan. Dibandin

Proses Kreatifku (2)

Proses Kreatifku (2) Di masa SMA, minatku terhadap dunia seni sastra semakin kuat. Di masa itu, aku mulai membaca karya-karya sastra dari majalah Hai, Kompas, Pikiran Rakyat dan Koran Mingguan Swadesi. Penulis-penulis seperti Gola Gong, Gus Tf, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Remi Novaris DM, dll, kerap aku jumpai tulisannya di majalah Hai. Ruang pertemuan kecil di Pikiran Rakyat yang diasuh oleh Saini KM menarik perhatianku untuk membacanya, selain tentu saja membaca sajak-sajak yang ditampilkan di sana. Cerita bersambung di Kompas tak urung aku ikuti setiap hari. Sedangkan di koran Swadesi, aku mengikuti kolom sastra warung Diha yang memberikan kiat-kiat bagi penulis. Aku sering menulis surat kepada pengasuhnya, Mbak Diah Hadaning, sambil mengirimkan sajak-sajakku. Hampir tak percaya, suatu minggu aku baca di koran Swadesi pertanyaan dariku dimuat dan diJawab oleh Mbak Diah Hadaning sendiri. Kalau tidak salah pertanyaanku saat itu adalah tentang bagaimana cara mengatasi kem

Proses Kreatifku (3)

Proses Kreatifku (3) Geli juga saat seseorang menyapaku sebagai penyair. Di lingkungan kampus, di antara teman-temanku, di antara lingkungan pergaulan yang lebih luas, mereka seringkali mnghubung-hubungkan aku dengan sastra, khususnya puisi. Dan mereka tak segan memanggilku: penyair. Entah mengapa. Mungkin mereka melihat aku demikian mencintai dunia yang satu ini. Dan aku memang sering mengatakan: “aku mencintainya dengan keras kepala.” Konsistensi. Mungkin itulah kata kuncinya. Ketika seseorang terus menekuni suatu bidang dengan terus menerus, maka orang lain akan “mengakui” seseorang tersebut “berada” dalam bidang tersebut. Hal inilah yang terpikir dalam benakku saat ada yang meributkan masalah “pengakuan” atas eksistensinya di dunia kepenyairan. Pengakuan dari orang lain atas “keberadaan” dan “keberartian” kita bagi suatu lingkungan, sebenarnya mudah sekali, jika kembali pada satu kata kunci tadi: konsistensi. Apakah seseorang tersebut serius terus menerus menggeluti bidang ya

Tujuh Musim Setahun, Waktu Mencari Makna Cinta

Esei: Nanang Suryadi Tujuh Musim Setahun, Waktu Mencari Makna Cinta Adakah daya tarik novel yang ditulis dari sudut pandang seorang perempuan yang bercerita tentang kaumnya? "Tujuh Musim Setahun", sebuah novel karya Clara Ng, mencoba membeberkan secara subtil mengenai orientasi manusia terhadap ruang dunia yang terus berubah, dari beragam pandangan yang berbeda. Di mana muatan ceritanya memunculkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perhelatan persahabatan 5 orang perempuan, yang ditulis oleh seorang perempuan. Penghayatan penulis perempuan atas dirinya sendiri barangkali akan berbeda hasilnya jika permasalahan yang sama diceritakan oleh seorang novelis lelaki. Satu hal lagi yang patut diperhitungkan oleh kehadiran novel ini adalah novel-novel sebelumnya yang terbit di masa yang sama dan mengambil tematik yang hampir serupa. Clara Ng sebagai penulis yang muncul pada masa yang sama dengan Ayu Utami dan Dewi Lestari, novelis yang pada beberapa tahun terakhir ini