Proses Kreatifku (3)
Proses Kreatifku (3)
Geli juga saat seseorang menyapaku sebagai penyair. Di lingkungan kampus, di antara teman-temanku, di antara lingkungan pergaulan yang lebih luas, mereka seringkali mnghubung-hubungkan aku dengan sastra, khususnya puisi. Dan mereka tak segan memanggilku: penyair. Entah mengapa. Mungkin mereka melihat aku demikian mencintai dunia yang satu ini. Dan aku memang sering mengatakan: “aku mencintainya dengan keras kepala.”
Konsistensi. Mungkin itulah kata kuncinya. Ketika seseorang terus menekuni suatu bidang dengan terus menerus, maka orang lain akan “mengakui” seseorang tersebut “berada” dalam bidang tersebut. Hal inilah yang terpikir dalam benakku saat ada yang meributkan masalah “pengakuan” atas eksistensinya di dunia kepenyairan. Pengakuan dari orang lain atas “keberadaan” dan “keberartian” kita bagi suatu lingkungan, sebenarnya mudah sekali, jika kembali pada satu kata kunci tadi: konsistensi. Apakah seseorang tersebut serius terus menerus menggeluti bidang yang ingin dia diakui keberadaannya. Atau hanya sambil lalu saja. Walaupun, seperti dikatakan Budi Dharma, sebagai sebuah sindiran dalam eseinya terhadap para sastrawan kita, bahwa ternyata kebanyakan hanya iseng, mencoba-coba, sambil lalu saja. Dan kerja iseng itu ternyata telah mendapatkan “pengakuan” luar biasa dari orang lain. Mungkin yang dikatakan Budi Dharma itu benar adanya. Mungkin pula tidak. Mungkin akupun sebenarnya belum sungguh-sungguh alias hanya iseng saja menulis sajak, tidak mau mengeksplorasi penuh dan total untuk menjadikan sajak sebagai sebuah kegiatan yang serius dan penuh perhatian. Walaupun, ternyata kerja “iseng” tadi sudah mendapatkan “pengakuan” dari berbagai redaktur sastra yang memuat sajak-sajakku di ruang koran, majalah, jurnal dan laman situs. Tapi, iseng atau tidak terus terang aku mencintainya. Mengapa aku mencintainya? Sukar aku mengatakannya. Mungkin suatu ketika aku tak mencintai dunia kata-kata ini. Seperti terkadang akupun mulai jenuh dan membencinya. Tapi hal tersebut, selama ini tak berlangsung lama. Saat ada ide yang menggoda, aku pun kembali untuk mencintainya. Ah, padahal puisi tak harus digeluti sampai mati bukan? (aku lupa, apakah kalimat ini pernah dikatakan Tardji pada sebuah tulisannya yang aku baca suatu ketika).
Aku sering mendengarkan komentar orang lain terhadap kegiatanku menulis sajak. Komentar mereka diantaranya: aku terlalu produktif menulis. Salah satu orang yang berkomentar tentang hal yang sama adalah Sutardji Calzoum Bachri. Dia adalah salah seorang teman berdialog kalau bertemu di kafe di Tim. Walaupun dialog sebenarnya tidak terlalu tepat, karena sebenarnya dia yang paling banyak omong dan aku mendengarkan saja celotehannya tentang berbagai hal. Tardji bilang: “Nanang, jangan terlalu rajin nulis puisi.” Aku hanya tertawa saja, lantas bertanya: “Kenapa bang?”
Terlalu rajin menulis, kata Tardji, akan membuat sajak-sajakku menjadi cair. Cair? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Tapi apakah aku harus menyiksa diriku untuk tidak menuliskan apa yang harus aku tuliskan. Seperti orang kebelet mau ke WC, lalu ada orang bilang: “Nanang, jangan terlalu rajin, nanti cair.” Hehehe, geli juga aku memakai analogi seperti ini. Aku lebih menyukai sering menulis sajak. Mungkin lebih dari 1000 sajakku saat ini. Bagus atau jelek, aku tetap mengakui itu adalah sajak-sajakku.
Sejak aku belajar menulis, aku merasa lebih mudah membuat sebuah sajak, walaupun hasilnya buruk. Aku pernah mencoba menulis cerpen, jumlah cerpen yang jadi hanya sedikit, sebagian besar tidak terselesaikan, karena sudah menghabiskan berhalaman-halaman tapi tak kunjung dapat aku hentikan. Aku mungkin tak begitu peduli dengan “nasib” cerpen-cerpenku, baik yang sudah jadi maupun yang tak jadi itu. Menulis esei juga merupakan sesuatu yang tidak mudah bagiku. Biasanya aku memiliki gagasan besar, menulis judul, lalu menulis beberapa paragraf, setelah itu berhenti dan aku tinggalkan. Aku pikir, aku menyukai menulis sekali jalan dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Mungkin karena itulah, aku lebih cenderung untuk menulis sajak.
Dalam menulis sajak, aku tak peduli apakah hasilnya jelek atau bagus. Aku tak ingin gagah-gagahan mengatakan bahwa aku mempersiapkan kosa kata dan mencari kata sampai ke inti sampai ke tulang sumsum seperti Chairil Anwar misalnya. Aku siap sedia dengan dengan segala keterbatasan kosa kata yang terkumpul selama ini dalam benak kepalaku, dan mulai menulis sajak ketika ada suatu sentuhan yang merangsang kata-kata itu keluar menjadi rangkaian- kata yang disebut sajak. Sentuhan, yang membuka seluruh pengalaman fisik dan batinku selama ini. Jadi, sebenarnya, puisi itu telah ada dalam diriku, hanya saja harus ada suatu pemicu yang membuka seluruh pengalaman puitikku tadi. Pengalaman puitik sering kudapat saat berjalan-jalan, saat ngobrol, saat nongkrong di WC, saat melamun sendirian berbicara dengan Tuhan, saat apa saja. Memang, pernah pula aku mencoba untuk mencari kata-kata dari kamus dan menyengaja untuk membuat sebuah sajak, namun hasilnya tidak memuaskan, karena menjadi sangat teknis, tidak lancar dan seperti menjadi sekedar keterampilan mengolah kata-kata.
Sajak bagiku adalah sebuah dialog. Dengan sajak aku ingin berdialog, maka tak heran jika sering ditemui kata-kata: “mu”, “kita”, “aku” yang merupakan tanda bahwa ada semacam percakapan di situ, sebuah interaksi. Dalam sajak- sajakku, aku kadang-kadang menempatkan diriku bukan dalam posisi “ku” tapi dalam posisi “mu” atau “dia” atau kata ganti lain.
Aku seringkali menyapa seseorang dengan kata-kata yang akrab dikenalinya. Kata-kata yang sering diucapkannya, atau dituliskannya. Dalam sajakku aku tak ragu untuk menyapa Chairil yang menyapaku lewat sajaknya yang menyentuh saat kubaca. Hal yang sama bisa aku lakukan dengan sajakku aku pun menyapa Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Sutardji, Goenawan, Eka Budianta, Afrizal Malna, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noor, Gus Tf, Dorothea Rosa Herliani, Wahyu Prasetya, Kunthi Hastorini, Anggoro, Yono Wardito, Rukmi Wisnu Wardani, Indah Irianita Puteri, Hasan Aspahani, TS. Pinang, Saut Situmorang, Heriansyah Latief, Medy Loekito, Tulus Widjanarko, Sutan Iwan Soekri Munaf, Ramli, Suhra, Nietszche, Adonis, Rummi, Attar, Octavio Paz, Pablo Neruda atau siapa saja. Bahkan, sebenarnya yang paling sering aku lakukan adalah: menyapa Tuhan melalui sajak-sajakku. Ya, dengan sajak aku
berdialog.
Aku tak takut pada pengaruh para penulis-penulis lain. Aku terima segala pengaruh itu dengan senang hati. Yang memperkaya pengalaman jiwaku. Dan aku mencoba berdialog saat membaca karya-karya tersebut. Aku menciptakan kembali sajak tersebut menjadi puisi dalam angan pikiranku. Mungkin tak sama dengan apa yang dimaui pengarangnya. Tapi bukankah aku berhak memaknai kata-kata yang telah dituliskan, dengan pemaknaan sesuai pengalamanku sendiri, sesuai dengan imajinasiku sendiri.
Kadang-kadang saat membaca sajak, aku mencoba mencari inti kata yang merupakan kekuatan dari sajak tersebut. Aku “mencuri” kata itu dan menjadikannya titik tolak untuk berdialog. Aku coba mengolahnya kembali menjadi rangkaian kata-kata lain dengan apa yang aku rasakan saat
membacanya. Aku tulis terus menerus mengikuti apa yang terlintas dalam benak kepalaku mengembangbiakan kata yang aku “curi” tadi. Hal ini sering terjadi saat aku membaca sajak melalui milist, yang pada saat itu kubaca saat itu pula aku tergoda untuk menanggapinya. Aku jadi terbiasa menulis spontan. Mungkin pada saat itu aku sedang membangkitkan rasa yang terpendam dalam alam bawah sadarku. Mungkin. Hanya saja, bagi orang lain mungkin sajak-sajakku menjadi monoton, karena kosa kata yang muncul sering diulang-ulang dalam banyak sajak-sajakku.
Kegiatan bersastra di internet selama 4 tahun belakangan ini, aku akui mendorongku untuk menulis lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Seringkali aku menulis sajak demikian banyak, ketika aku berhadap-hadapan dengan email yang berisi sajak teman-teman, dan aku tergoda untuk membalasnya dengan sajak pula. Belum lagi, bila sajak atau email itu ditulis oleh seseorang yang aku cintai. Aku dengan sangat bersemangat untuk membalasnya, dengan sajak pula. Sajak-sajak interaktif ini mungkin dapat diteropong sebagai sebuah gejala baik yang muncul dari kegiatan bersastra di internet (lewat mailing list, chat room, buku tamu dan fasilitas
interaktif lainnya). Ada satu perangkat yang aku pakai juga untuk menulis sajak, yaitu melalui SMS di handphone. Aku sering berbalas-balas sajak melalui SMS tadi.
Baiklah, aku akhiri dulu penuturanku tentang proses kreatif ini. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ungkapkan. Tapi lain kali saja, kalau sempat.***
Geli juga saat seseorang menyapaku sebagai penyair. Di lingkungan kampus, di antara teman-temanku, di antara lingkungan pergaulan yang lebih luas, mereka seringkali mnghubung-hubungkan aku dengan sastra, khususnya puisi. Dan mereka tak segan memanggilku: penyair. Entah mengapa. Mungkin mereka melihat aku demikian mencintai dunia yang satu ini. Dan aku memang sering mengatakan: “aku mencintainya dengan keras kepala.”
Konsistensi. Mungkin itulah kata kuncinya. Ketika seseorang terus menekuni suatu bidang dengan terus menerus, maka orang lain akan “mengakui” seseorang tersebut “berada” dalam bidang tersebut. Hal inilah yang terpikir dalam benakku saat ada yang meributkan masalah “pengakuan” atas eksistensinya di dunia kepenyairan. Pengakuan dari orang lain atas “keberadaan” dan “keberartian” kita bagi suatu lingkungan, sebenarnya mudah sekali, jika kembali pada satu kata kunci tadi: konsistensi. Apakah seseorang tersebut serius terus menerus menggeluti bidang yang ingin dia diakui keberadaannya. Atau hanya sambil lalu saja. Walaupun, seperti dikatakan Budi Dharma, sebagai sebuah sindiran dalam eseinya terhadap para sastrawan kita, bahwa ternyata kebanyakan hanya iseng, mencoba-coba, sambil lalu saja. Dan kerja iseng itu ternyata telah mendapatkan “pengakuan” luar biasa dari orang lain. Mungkin yang dikatakan Budi Dharma itu benar adanya. Mungkin pula tidak. Mungkin akupun sebenarnya belum sungguh-sungguh alias hanya iseng saja menulis sajak, tidak mau mengeksplorasi penuh dan total untuk menjadikan sajak sebagai sebuah kegiatan yang serius dan penuh perhatian. Walaupun, ternyata kerja “iseng” tadi sudah mendapatkan “pengakuan” dari berbagai redaktur sastra yang memuat sajak-sajakku di ruang koran, majalah, jurnal dan laman situs. Tapi, iseng atau tidak terus terang aku mencintainya. Mengapa aku mencintainya? Sukar aku mengatakannya. Mungkin suatu ketika aku tak mencintai dunia kata-kata ini. Seperti terkadang akupun mulai jenuh dan membencinya. Tapi hal tersebut, selama ini tak berlangsung lama. Saat ada ide yang menggoda, aku pun kembali untuk mencintainya. Ah, padahal puisi tak harus digeluti sampai mati bukan? (aku lupa, apakah kalimat ini pernah dikatakan Tardji pada sebuah tulisannya yang aku baca suatu ketika).
Aku sering mendengarkan komentar orang lain terhadap kegiatanku menulis sajak. Komentar mereka diantaranya: aku terlalu produktif menulis. Salah satu orang yang berkomentar tentang hal yang sama adalah Sutardji Calzoum Bachri. Dia adalah salah seorang teman berdialog kalau bertemu di kafe di Tim. Walaupun dialog sebenarnya tidak terlalu tepat, karena sebenarnya dia yang paling banyak omong dan aku mendengarkan saja celotehannya tentang berbagai hal. Tardji bilang: “Nanang, jangan terlalu rajin nulis puisi.” Aku hanya tertawa saja, lantas bertanya: “Kenapa bang?”
Terlalu rajin menulis, kata Tardji, akan membuat sajak-sajakku menjadi cair. Cair? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Tapi apakah aku harus menyiksa diriku untuk tidak menuliskan apa yang harus aku tuliskan. Seperti orang kebelet mau ke WC, lalu ada orang bilang: “Nanang, jangan terlalu rajin, nanti cair.” Hehehe, geli juga aku memakai analogi seperti ini. Aku lebih menyukai sering menulis sajak. Mungkin lebih dari 1000 sajakku saat ini. Bagus atau jelek, aku tetap mengakui itu adalah sajak-sajakku.
Sejak aku belajar menulis, aku merasa lebih mudah membuat sebuah sajak, walaupun hasilnya buruk. Aku pernah mencoba menulis cerpen, jumlah cerpen yang jadi hanya sedikit, sebagian besar tidak terselesaikan, karena sudah menghabiskan berhalaman-halaman tapi tak kunjung dapat aku hentikan. Aku mungkin tak begitu peduli dengan “nasib” cerpen-cerpenku, baik yang sudah jadi maupun yang tak jadi itu. Menulis esei juga merupakan sesuatu yang tidak mudah bagiku. Biasanya aku memiliki gagasan besar, menulis judul, lalu menulis beberapa paragraf, setelah itu berhenti dan aku tinggalkan. Aku pikir, aku menyukai menulis sekali jalan dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Mungkin karena itulah, aku lebih cenderung untuk menulis sajak.
Dalam menulis sajak, aku tak peduli apakah hasilnya jelek atau bagus. Aku tak ingin gagah-gagahan mengatakan bahwa aku mempersiapkan kosa kata dan mencari kata sampai ke inti sampai ke tulang sumsum seperti Chairil Anwar misalnya. Aku siap sedia dengan dengan segala keterbatasan kosa kata yang terkumpul selama ini dalam benak kepalaku, dan mulai menulis sajak ketika ada suatu sentuhan yang merangsang kata-kata itu keluar menjadi rangkaian- kata yang disebut sajak. Sentuhan, yang membuka seluruh pengalaman fisik dan batinku selama ini. Jadi, sebenarnya, puisi itu telah ada dalam diriku, hanya saja harus ada suatu pemicu yang membuka seluruh pengalaman puitikku tadi. Pengalaman puitik sering kudapat saat berjalan-jalan, saat ngobrol, saat nongkrong di WC, saat melamun sendirian berbicara dengan Tuhan, saat apa saja. Memang, pernah pula aku mencoba untuk mencari kata-kata dari kamus dan menyengaja untuk membuat sebuah sajak, namun hasilnya tidak memuaskan, karena menjadi sangat teknis, tidak lancar dan seperti menjadi sekedar keterampilan mengolah kata-kata.
Sajak bagiku adalah sebuah dialog. Dengan sajak aku ingin berdialog, maka tak heran jika sering ditemui kata-kata: “mu”, “kita”, “aku” yang merupakan tanda bahwa ada semacam percakapan di situ, sebuah interaksi. Dalam sajak- sajakku, aku kadang-kadang menempatkan diriku bukan dalam posisi “ku” tapi dalam posisi “mu” atau “dia” atau kata ganti lain.
Aku seringkali menyapa seseorang dengan kata-kata yang akrab dikenalinya. Kata-kata yang sering diucapkannya, atau dituliskannya. Dalam sajakku aku tak ragu untuk menyapa Chairil yang menyapaku lewat sajaknya yang menyentuh saat kubaca. Hal yang sama bisa aku lakukan dengan sajakku aku pun menyapa Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Sutardji, Goenawan, Eka Budianta, Afrizal Malna, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noor, Gus Tf, Dorothea Rosa Herliani, Wahyu Prasetya, Kunthi Hastorini, Anggoro, Yono Wardito, Rukmi Wisnu Wardani, Indah Irianita Puteri, Hasan Aspahani, TS. Pinang, Saut Situmorang, Heriansyah Latief, Medy Loekito, Tulus Widjanarko, Sutan Iwan Soekri Munaf, Ramli, Suhra, Nietszche, Adonis, Rummi, Attar, Octavio Paz, Pablo Neruda atau siapa saja. Bahkan, sebenarnya yang paling sering aku lakukan adalah: menyapa Tuhan melalui sajak-sajakku. Ya, dengan sajak aku
berdialog.
Aku tak takut pada pengaruh para penulis-penulis lain. Aku terima segala pengaruh itu dengan senang hati. Yang memperkaya pengalaman jiwaku. Dan aku mencoba berdialog saat membaca karya-karya tersebut. Aku menciptakan kembali sajak tersebut menjadi puisi dalam angan pikiranku. Mungkin tak sama dengan apa yang dimaui pengarangnya. Tapi bukankah aku berhak memaknai kata-kata yang telah dituliskan, dengan pemaknaan sesuai pengalamanku sendiri, sesuai dengan imajinasiku sendiri.
Kadang-kadang saat membaca sajak, aku mencoba mencari inti kata yang merupakan kekuatan dari sajak tersebut. Aku “mencuri” kata itu dan menjadikannya titik tolak untuk berdialog. Aku coba mengolahnya kembali menjadi rangkaian kata-kata lain dengan apa yang aku rasakan saat
membacanya. Aku tulis terus menerus mengikuti apa yang terlintas dalam benak kepalaku mengembangbiakan kata yang aku “curi” tadi. Hal ini sering terjadi saat aku membaca sajak melalui milist, yang pada saat itu kubaca saat itu pula aku tergoda untuk menanggapinya. Aku jadi terbiasa menulis spontan. Mungkin pada saat itu aku sedang membangkitkan rasa yang terpendam dalam alam bawah sadarku. Mungkin. Hanya saja, bagi orang lain mungkin sajak-sajakku menjadi monoton, karena kosa kata yang muncul sering diulang-ulang dalam banyak sajak-sajakku.
Kegiatan bersastra di internet selama 4 tahun belakangan ini, aku akui mendorongku untuk menulis lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Seringkali aku menulis sajak demikian banyak, ketika aku berhadap-hadapan dengan email yang berisi sajak teman-teman, dan aku tergoda untuk membalasnya dengan sajak pula. Belum lagi, bila sajak atau email itu ditulis oleh seseorang yang aku cintai. Aku dengan sangat bersemangat untuk membalasnya, dengan sajak pula. Sajak-sajak interaktif ini mungkin dapat diteropong sebagai sebuah gejala baik yang muncul dari kegiatan bersastra di internet (lewat mailing list, chat room, buku tamu dan fasilitas
interaktif lainnya). Ada satu perangkat yang aku pakai juga untuk menulis sajak, yaitu melalui SMS di handphone. Aku sering berbalas-balas sajak melalui SMS tadi.
Baiklah, aku akhiri dulu penuturanku tentang proses kreatif ini. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ungkapkan. Tapi lain kali saja, kalau sempat.***