Ketika Tiga Anak Wayang Berpuisi

esai Nanang Suryadi

Ketika Tiga Anak Wayang Berpuisi




Pada Oktober 2002, Forum Kesenian Banten menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Dunia Wayang. Antologi ini memuat 36 puisi karya tiga penyair Banten: Asep GP, Ibnu PS Megananda, dan Ruby Ach. Baedhawy. Antologi ini diberi kata sambutan di halaman pembuka oleh Drs. Didi Supriadi, M.Pd.—kepala dinas pendidikan Propinsi Banten—, dan oleh penyair Toto St. Radik di halaman penutup.



Secara umum, dalam kumpulan puisi Dunia Wayang tema sosial politik tampak menjadi hal menarik bagi ketiga penyair untuk dituangkan dalam sajak. Perubahan yang terjadi di sekitar penyair, baik lokal maupun nasional, menggoda mereka untuk menyikapinya. Mungkin berita-berita koran dan televisi telah menggugah kesadaran mereka. Keganjilan atau ketidakwajaran yang terjadi di sekelilingnya telah merangsang kepekaan jiwa para penyair ini. Diduga, berita-berita tersebut banyak mengilhami lahirnya sajak-sajak dalam buku ini. Namun, dalam menyikapi fenomena sosial politik tersebut, penyair seringkali masih terjebak dalam bahasa yang serupa dengan bahasa di media massa yang mereka baca. Karena itu tak heran jika banyak ditemukan kata semacam slogan dalam sajak-sajak tersebut, membuat sajak menjadi klise atau merupakan repetisi kejadian yang sering menjadi headline koran atau kata-kata dalam spanduk di pinggir jalan.



Dalam sajak-sajak bertema sosial tersebut juga masih banyak ditemukan diksi yang tidak sepadan dalam satu situasi. Dalam pmakaian bahasa, ada semacam kegamangan untuk memilih bahasa yang verbal (langsung) atau bahasa yang simbolik, sehingga terasa sajak-sajak tersebut menjadi tidak utuh dalam keseimbangan. Padahal, sesungguhnya, sajak yang berhasil adalah sajak yang seimbang dalam berbagai hal, antara lain, seimbang dalam hal isi dan kemasannya.



Penyair yang bergelut dengan kata-kata semestinya dapat menyaring bahasa realitas yang prosaik dan verbal yang ditemukan di media massa itu menjadi sebuah dunia baru yang memberikan penafsiran lain terhadap kondisi atau situasi yang terjadi. Pemakai bahasa verbal (langsung) memang tetap dimungkinkan, tetapi penyair yang memberikan penafsiran terhadap realitas akan membuat suatu kejutan, sesuatu yang menghentak emosi dan pikiran pembaca. Pemakaian gaya bahasa yang pas akan sangat membantu sebuah sajak sosial “menjadi”, bukan sekadar tempelan slogan atau kata-kata klise yang dipungut dari berita koran. Kelihaian penyair memainkan “ironi” atau “paradoks”, misalnya, dapat membantu sebuah sajak sosial “menjadi”.



Selain bertema sosial, dalam buku ini juga terdapat sajak-sajak yang merupakan perenungan diri yang masuk ke dunia dalam atau batin penyairnya. Sayangnya, sajak-sajak tersebut terasa belum masuk ke dalam perenungan yang benar-benar mendalam dan total sehingga pengungkapannya terasa menjadi gagap dan sangat normatif. Eksplorasi terhadap kekayaan batin atau pengalaman spiritual yang puitik dalam beberapa sajak Ruby cukup menonjol dan kuat dalam pengungkapannya. Pada sajak-sajak Asep, terasa masih ada jarak antara “diri” dan “diri yang sesungguhnya” sehingga sajak yang tercipta “menjadi”. Ibnu PS Megananda, pada beberapa sajaknya, juga mencoba memasuki dunia keheningan yang diciptakannya melalui sajak-sajak bersuasana perenungan diri di saat menyendiri di suatu tempat, antara lain, di pantai.



Dari 36 sajak (setiap penyair menghadirkan 12 sajak) dalam Dunia Wayang, saya tertarik untuk menyimak 7 sajak lebih lanjut: 2 sajak Asep GP, 1 sajak Ibnu Megananda PS, dan 4 sajak Ruby Ach. Baedhawy.



Pada sajak “Anak I”, Asep mencoba membuat metafora bagaimana seseorang tetap teguh melakoni jalan lurus, panggilan Tuhan, tanpa kenal putusasa dengan cara Asep menceritakan bagaimana “anakku melangkah ke surau”. Sang anak membawa lilin di tangan kiri dan sajadah di tangan kanan. Suatu hal yang aneh, mungkin, jika membayangkan bagaimana seseorang membawa lilin di malam hari untuk berjalan-jalan. Terbayangkan kesulitannya, karena lelehan lilin yang panas akan menetes ke tangan si anak yang berjalan di gulita malam. Kira-kira, di mana hal tersebut terjadi? Dari gambaran yang diberikan dalam sajak, dapat dipahami bahwa kejadian itu terjadi pada malam hari, saat gulita sepanjang jalan. Mungkin, tempat dalam sajak Asep ini sebuah pedesaan yang jauh dari sentuhan modern. Tapi, mengapa Asep memilih lilin sebagai “penerang” jalan, mengapa bukan obor? Dalam hal ini Asep tidak cermat memperhitungkan benda apa yang seharusnya hadir dalam situasi seperti itu. Dalam sebuah sajak, yang menampilkan keruntutan, memang dituntut agar berbagai hal di dalamnya dapat secara logis saling mendukung dan menerangkan. Hingga, dengan demikian, sajak menjadi sesuatu yang utuh dapat dimengerti dan dinikmati pembacanya, tanpa harus menanggalkan akal sehatnya.



Anak I





anakku melangkah ke surau
lilin di tangan kiri
sajadah di tangan kanan
gulita sepanjang jalan
lilin di tangan kiri terus menyala
walau di sepanjang jalan angin menggoyang sinarnya
sajadah di tangan kanan
masih terlihat lipatanlipatan
anakku terus melangkah ke surau




Pada sajak “Doa Orang Tua”, Asep memungut ungkapan yang sebenarnya klise: Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Namun dengan pengolahan yang menempatkan baris-baris sajaknya dalam ritme pelan, bertutur menasehati, dengan hentakan yang terasa pada pengulangan merunduklah, sajak Asep ini menjadi lebih “berbunyi” atau berirama. Unsur bunyi-bunyian dalam sajak seperti ini menyelamatkannya dari pitutur yang klise dan membosankan.



Doa Orang Tua


Untuk anakku Oki Nadia Puspa




Seperti padi
Merunduklah ketika
Berilmu

Jangan ada kepongahan dalam diri

Karena hidup hanya sesaat
Waktu kian berguna
Hingga kau mencapai citacita

Sungguh berat kelak beban hidup yang kau pikul

Merunduklah seperti padi
Karena isi

Sehingga kau akan berguna bagi negeri

Karena hidup hanya titipan
Yang harus dipertanggungjawabkan
Kelak di akhirat

Merunduklah

22 Juni 2002




Sajak-sajak Ibnu PS Meganda sebagian besar bernada protes pada kondisi yang dianggapnya tidak beres. Kata-kata yang muncul dalam sajak-sajaknya terasa bersemangat menggedor-gedor berbagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakberesan itu. Dalam banyak sajaknya, Ibnu menyodorkan realita yang disaksikan di sekelilingnya, juga realita yang dibaca dan dilihatnya di media massa. Namun, ada juga beberapa sajak yang berulang-alik antara kesadaran sosial dan dirinya sendiri. Semacam renungan dalam diri penyair. Selain itu, ada juga sajaknya yang memotret suatu peristiwa dan peristiwa itu dihadirkan dalam sajak sebagai renungan untuk dirinya sendiri. Sebuah peristiwa puitik yang dirasakan Ibnu dan dianggapnya penting untuk dibagikan kepada orang lain sehingga dituliskan dalam sebuah sajak.



Sebuah sajak renungan yang cukup berhasil dalam pengungkapannya adalah sajak “Imajinasi Nirwana”. Ibnu berulang-alik dengan suasana alam yang sedang ia nikmati, yang melahirkan perenungan tentang hal lain, sesuatu yang abstrak yang ditemukannya dari kitab-kitab suci, yaitu tentang nirwana. Ia membayangkan bahwa kedamaian di saat itu mungkin seperti nirwana dalam bayangannya selama ini.





Imajinasi Nirwana



Dipaling ujung pantai sana
tak lagi tampak orang berdiri
tinggal buih putih
dibawa angin mengembara

Dilorong riuh gemuruh ombak
aku terima tekateki laut
aku umpamakan alam nirwana
belum juga dapat terjawab

Aku kira itu hanya sedikit nikmat
dan akupun tak mau terpaku

Walau datang keluh kelu




Pada beberapa sajak Ruby Ach. Baedhawy, ditemukan totalitas penyairnya bergelut dengan kata-kata dan permasalahan yang akrab dikenalinya. Dapat dirasakan bagaimana kata-kata tersebut saling mendukung untuk menciptakan atau merekonstruksi pengalaman puitik yang dialami penyairnya. Pengenalan yang mendalam terhadap permasalahan dapat memudahkan penyair untuk menuangkan pengalamannya itu sebagai sebuah keutuhan dalam sebuah sajak, dan dengan demikian dapat diharapkan sajak tersebut sampai kepada pembaca, yang menerima pengalaman putik tersebut dengan membandingkan-bandingkan dengan pengalaman mereka sendiri.



Dalam sajak “Nuansa Kematian”, Ruby coba memotret kondisi tanah air sebelum dan saat reformasi terjadi. Cukup berhasil dalam gaya pengungkapan yang verbal.



“Aku Belajar Membaca Kotaku”, sajak bernarasi yang menunjukkan bagaimana seorang aku dalam sajak tersebut menafsirkan kejadian-kejadian yang terjadi di masa kini dan masa lalu. Penyair membandingkan kenyataan kini dengan cerita-cerita kejayaan tempo dulu: Banten yang jaya. Dalam sajak ini, ritme terjaga dengan baik. Letupan emosi masih ada dalam bingkai narasi. Pilihan-pilihan kata yang sepadan suasananya turut mendukung keberhasilan sajak ini dalam mengantarkan pesan-pesan, sesuatu yang dirasakan penyairnya sebagai pengalaman puitik, kepada pembaca.



Sajak “Menatap Wajah Kerinduanmu”, mulai bait kedua hingga bait keempat, Ruby berhasil mengungkapkan pengalaman spiritualnya yang mengalir alami dengan diksi-diksi khas yang menunjukan penyair akrab dengan istilah-istilah dari khazanah Islam, misalnya, khusyu, tahajjud, sujud, dan tadarrus.



Sajak “Narasi Duka: Anak Kehidupan”, ungkapan langsung penyair, yang terbaca semacam doa kepada Allah. Membaca sajak ini terasa Ruby terhanyut dalam penghambaan total, dengan kata-kata yang mengalir mulus sebagai sebuah doa yang indah bagi sebuah keluarga bahagia sejahtera yang dirahmati-Nya.



Dari beberapa sajaknya yang menelusuri sejarah, lokasi dan riwayat Banten serta yang berhubungan dengan suasana spiritual, Ruby terasa sangat akrab dan di situlah kunci kematangan sajak-sajaknya.


Popular posts from this blog

FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR: KOMUNITAS DAN MEDIA

Terbit! Buku Puisi: Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya

Kemarau