SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1)
Esei: Nanang Suryadi
SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1)
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sering membanggakan tahun-tahun masa kreatifnya tahun 1970-an. Ujarnya, “Tahun 1970-an adalah masa paling semarak dalam ekplorasi kesenian. Bukan hanya sastra tetapi juga dalam bidang seni lainnya: tari, teater, seni rupa. Dalam puisi berbagai perambahan dan pembebasan dilakukan.”
Dengan mengacu kepada buku Korrie Layun Rampan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, SCB menunjukkan betapa sulitnya menemukan pembaharuan dalam sejarah sastra kita yang cukup panjang. Katanya, “Bolehlah dikatakan hampir selalu sejarah perpuisian modern sebagai suatu estafet Generasi berikutnya meski berlari sekencang abad teknologi ini, tetaplah masih saja memegang tongkat estafet dari generasi pendahulunya.”
Ujarnya pula: “Pemikiran dan pembebasan puisi dari generasi sebelumnya, tahun 1970-an, masih merupakan landasan tempat bergerak dan bertumpunya kreatifitas penyair dari angkatan 2000-nya Korrie.”
Hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, karena kata SCB pula: “Semakin panjang sejarah sastra modern dari suatu bangsa semakin sulit bagi generasi berikutnya untuk melakukan eksplorasi sastra. Seakan-akan lahan untuk melakukan pembaharuan semakin sempit.”
Ketika Jamal D Rahman, penyair yang mulai berproses kreatif di tahun 1980-an bertanya: “Apalagi yang bisa dilakukan kalau hampir segala perambahan pengucapan puitik telah dilakukan oleh para penyair sebelumnya?” SCB dengan segera menyatakan, “Carilah kedalaman!”. Tapi SCB pun menyadari bahwa agaknya dalam kehidupan penyair modern atau masa kini, orang lebih terpesona pada pembaharuan dibandingkan dengan pencarian pada kedalaman.
Beberapa pernyataan SCB di atas diambil dari eseinya yang terkumpul dalam buku Gelak Eseai & Ombak Sajak Anno 2001, yang mengantarkan kita pada pemahaman konsepsi SCB tentang perkembangan persajakan di tanah air.
SCB menyatakan pembaharuan. Jika ada pembaharuan, maka harus ada yang diperbaharui. Apakah pembaharuan ini benar-benar baru, orisinal sebagai sebuah ciptaan pribadi sang seniman? Selama ini mengemuka seakan-akan sang seniman pembaharu telah menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, orisinal, seperti Archimedes saat berteriak eureka, sesaat setelah menemukan ilham dari bak mandinya.
Mungkin lebih baik dikatakan bukan sebuah penciptaan baru. Sebagaimana dalam kitab suci semitis dinyatakan penciptaan itu telah berakhir di hari ke enam, maka dapat dikatakan hari-hari selanjutnya adalah penemuan-penemuan kembali apa yang tersembunyi selama ini. Columbus yang menemukan kembali “benua baru” Amerika, setelah para Indian juga Amerigo Vespuci menemukannya hari-hari sebelumnya, dapat dianalogikan dalam hal “penciptaan” karya sastra. Kita dapatnya menyebutnya sebagai “recovery”, bukannya kreasi , jika pemakaian kata “kreasi” menuntut syarat sesuatu yang benar-benar baru, sesuatu yang tak ada sebelumnya.
Kita gunakan penemuan kembali (recovery) ini sebagai alat untuk membongkar mitos-mitos pembaruan penciptaan dalam sastra Indonesia. Dengan melakukan studi terhadap kebudayaan dunia yang lebih luas, maka kita teropong apakah benar para seniman tanah air telah “menciptakan” sesuatu yang baru, bukan sebuah hasil dari transfer dari belahan dunia lain yang lebih dulu menemukannya.
Kita mulai dengan Sutardji Calzoum Bachri, yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari masyarakat melayu, sebagai seniman utama.
Chairil Anwar (CA) adalah mata kanan perpuisian kita, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah mata kirinya, demikianlah kata Dami N Toda. Sajak yang mengalami pembebasan kata dari makna yang membebaninya, yang dilontarkan SCB dengan kredo puisinya, diletakkan Dami N Toda sebagai titik ekstrim yang berlawanan dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Namun sebagai sepasang mata, mereka akan saling melengkapi.
SCB selalu mengatakan bahwa ia kembali ke tradisi puisi kuno melayu, yaitu mantra. Tapi ada seorang kawan yang meragukannya dan mengatakan bahwa SCB menyerap dari khazanah dadaism yang nihilistic dan surrealism yang berkembang di barat selepas Perang Dunia I. Kawanku itu berargumen bahwa sebuah mantra tak akan dimengerti artinya. Ia merupakan kata-kata rahasia yang diucapkan oleh seorang dukun atau cenayang yang mungkin sedang ekstase dirasuki oleh mambang peri yang dipanggilinya. Namun pada sajak-sajak SCB (yang terkumpul dalam buku O, Amuk, Kapak), kata-kata di situ walaupun dibuat sedemikian rupa sehingga terasa kacau namun dapat ditarik ke sebuah fokus, sebuah tema yang menjadi ide dasar puisi.
Perang dunia I yang menimbulkan korban kemanusiaan yang besar, menimbulkan ketidakpercayaan para dadais terhadap karya seni yang sebelumnya dianggap luhur dan memberikan manfaat bagi kemanusiaan. Mereka dapat dikatakan menjadi anti seni dan nihilistic. Dalam lapangan sastra, para “penyair” dadaism menerabas aturan bentuk-bentuk dalam tradisi perpuisian di barat sebelumnya yang telah memiliki aturan-aturan yang ketat dalam mengatur struktur sebuah sajak, di mana sajak dibuat dengan teratur dalam verses, dengan komposisi ritme dalam jumlah-jumlah baris yang tertentu pula, seperti iambic, trochaic, anapestic dan dactyclic dsb.
Pengaruh surrealism dengan automatic writingnya, dapat ditemukan dengan jelas dalam proses kreatif SCB yang terdapat dalam kredonya itu: dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin ditekankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga -sepanjang tidak mengganggu kebebasannya - agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
SCB dan Pembaharuan Estetika Puisi (1)
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sering membanggakan tahun-tahun masa kreatifnya tahun 1970-an. Ujarnya, “Tahun 1970-an adalah masa paling semarak dalam ekplorasi kesenian. Bukan hanya sastra tetapi juga dalam bidang seni lainnya: tari, teater, seni rupa. Dalam puisi berbagai perambahan dan pembebasan dilakukan.”
Dengan mengacu kepada buku Korrie Layun Rampan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, SCB menunjukkan betapa sulitnya menemukan pembaharuan dalam sejarah sastra kita yang cukup panjang. Katanya, “Bolehlah dikatakan hampir selalu sejarah perpuisian modern sebagai suatu estafet Generasi berikutnya meski berlari sekencang abad teknologi ini, tetaplah masih saja memegang tongkat estafet dari generasi pendahulunya.”
Ujarnya pula: “Pemikiran dan pembebasan puisi dari generasi sebelumnya, tahun 1970-an, masih merupakan landasan tempat bergerak dan bertumpunya kreatifitas penyair dari angkatan 2000-nya Korrie.”
Hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, karena kata SCB pula: “Semakin panjang sejarah sastra modern dari suatu bangsa semakin sulit bagi generasi berikutnya untuk melakukan eksplorasi sastra. Seakan-akan lahan untuk melakukan pembaharuan semakin sempit.”
Ketika Jamal D Rahman, penyair yang mulai berproses kreatif di tahun 1980-an bertanya: “Apalagi yang bisa dilakukan kalau hampir segala perambahan pengucapan puitik telah dilakukan oleh para penyair sebelumnya?” SCB dengan segera menyatakan, “Carilah kedalaman!”. Tapi SCB pun menyadari bahwa agaknya dalam kehidupan penyair modern atau masa kini, orang lebih terpesona pada pembaharuan dibandingkan dengan pencarian pada kedalaman.
Beberapa pernyataan SCB di atas diambil dari eseinya yang terkumpul dalam buku Gelak Eseai & Ombak Sajak Anno 2001, yang mengantarkan kita pada pemahaman konsepsi SCB tentang perkembangan persajakan di tanah air.
SCB menyatakan pembaharuan. Jika ada pembaharuan, maka harus ada yang diperbaharui. Apakah pembaharuan ini benar-benar baru, orisinal sebagai sebuah ciptaan pribadi sang seniman? Selama ini mengemuka seakan-akan sang seniman pembaharu telah menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, orisinal, seperti Archimedes saat berteriak eureka, sesaat setelah menemukan ilham dari bak mandinya.
Mungkin lebih baik dikatakan bukan sebuah penciptaan baru. Sebagaimana dalam kitab suci semitis dinyatakan penciptaan itu telah berakhir di hari ke enam, maka dapat dikatakan hari-hari selanjutnya adalah penemuan-penemuan kembali apa yang tersembunyi selama ini. Columbus yang menemukan kembali “benua baru” Amerika, setelah para Indian juga Amerigo Vespuci menemukannya hari-hari sebelumnya, dapat dianalogikan dalam hal “penciptaan” karya sastra. Kita dapatnya menyebutnya sebagai “recovery”, bukannya kreasi , jika pemakaian kata “kreasi” menuntut syarat sesuatu yang benar-benar baru, sesuatu yang tak ada sebelumnya.
Kita gunakan penemuan kembali (recovery) ini sebagai alat untuk membongkar mitos-mitos pembaruan penciptaan dalam sastra Indonesia. Dengan melakukan studi terhadap kebudayaan dunia yang lebih luas, maka kita teropong apakah benar para seniman tanah air telah “menciptakan” sesuatu yang baru, bukan sebuah hasil dari transfer dari belahan dunia lain yang lebih dulu menemukannya.
Kita mulai dengan Sutardji Calzoum Bachri, yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari masyarakat melayu, sebagai seniman utama.
Chairil Anwar (CA) adalah mata kanan perpuisian kita, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah mata kirinya, demikianlah kata Dami N Toda. Sajak yang mengalami pembebasan kata dari makna yang membebaninya, yang dilontarkan SCB dengan kredo puisinya, diletakkan Dami N Toda sebagai titik ekstrim yang berlawanan dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Namun sebagai sepasang mata, mereka akan saling melengkapi.
SCB selalu mengatakan bahwa ia kembali ke tradisi puisi kuno melayu, yaitu mantra. Tapi ada seorang kawan yang meragukannya dan mengatakan bahwa SCB menyerap dari khazanah dadaism yang nihilistic dan surrealism yang berkembang di barat selepas Perang Dunia I. Kawanku itu berargumen bahwa sebuah mantra tak akan dimengerti artinya. Ia merupakan kata-kata rahasia yang diucapkan oleh seorang dukun atau cenayang yang mungkin sedang ekstase dirasuki oleh mambang peri yang dipanggilinya. Namun pada sajak-sajak SCB (yang terkumpul dalam buku O, Amuk, Kapak), kata-kata di situ walaupun dibuat sedemikian rupa sehingga terasa kacau namun dapat ditarik ke sebuah fokus, sebuah tema yang menjadi ide dasar puisi.
Perang dunia I yang menimbulkan korban kemanusiaan yang besar, menimbulkan ketidakpercayaan para dadais terhadap karya seni yang sebelumnya dianggap luhur dan memberikan manfaat bagi kemanusiaan. Mereka dapat dikatakan menjadi anti seni dan nihilistic. Dalam lapangan sastra, para “penyair” dadaism menerabas aturan bentuk-bentuk dalam tradisi perpuisian di barat sebelumnya yang telah memiliki aturan-aturan yang ketat dalam mengatur struktur sebuah sajak, di mana sajak dibuat dengan teratur dalam verses, dengan komposisi ritme dalam jumlah-jumlah baris yang tertentu pula, seperti iambic, trochaic, anapestic dan dactyclic dsb.
Pengaruh surrealism dengan automatic writingnya, dapat ditemukan dengan jelas dalam proses kreatif SCB yang terdapat dalam kredonya itu: dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin ditekankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga -sepanjang tidak mengganggu kebebasannya - agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.