FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR: KOMUNITAS DAN MEDIA

Oleh: Nanang Suryadi

Komunitas Sastra

Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai:

“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)

Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra Indonesia baik yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-kata “komunitas.” Menurut saya Pujangga Baru merupakan sebuah komunitas, walaupun nama Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah sastra. Namun di situ antara redaksi, penulis dan pembacanya ada suatu keterikatan emosional, sehingga muncullah sebuttan angkatan “Pujangga Baru”. Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga. Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk merupakan sebuah komunitas, yang pada akhirnya melahirkan Manifesto Kebudayaan. Dari beberapa contoh yang kebetulan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia itu, dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak dahulu.

Sebuah komunitas sastra, menurut saya, tidak harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Saya memandang bahwa jika ada lebih dari satu orang melakukan aktivitas rutin bersama dengan minat yang sama yaitu “sastra” maka dapat dikatakan itulah komunitas sastra. Walaupun Afrizal Malna pernah juga mendirikan komunitas yang anggotanya dia sendiri, yaitu “Komunitas Sepatu Biru.”

Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis. Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang, bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?

Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi.

Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu: komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.

Sekarang kita lihat fenomena apa yang membedakan komunitas sastra pada beberapa tahun terakhir dengan komunitas-komunitas sastra di tahun 90-an dan sebelumnya. Teknologi informasi membawa dampak perubahan terhadap pola interaksi di masyarakat. Pada akhir 90-an teknologi informasi berupa internet memberikan peluang kepada masayarakat luas untuk dapat berkumpul dalam suatu komunitas tanpa harus hadir secara fisik. Melalui jaringan internet, para peminat sastra membentuk komunitas yang melintasi batas geografis. Komunitas komunitas sastra di dunia maya mulai muncul sejak akhir tahun 90an melalui mailing list. Contoh komunitas sastra melalui mailing list yang berdiri di akhir 90an adalah: penyair@yahoogroups.com, puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan apresiasi_sastra@yahoogroups.com.


Media Sastra Mutakhir

Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.

Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, Wordpress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.

Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka. Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain

Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Kecenderungan itu sudah banyak. Misalnya:12 tahun lalu, milist bumimanusia yang diasuh Eka Kurniawan dan Linda Christanti telah menerbitkan beberapa buku. Pada masa yang sama, rekan-rekan di milist penyair, puisikita, gedongpuisi yang tergabung dalam cybersastra -YMS membuat antologi puisi. Buku serial antologi puisi "Dian Sastro for Presiden" (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.

Draft awal tulisan ini dibuat langsung di facebook.com dan twitter.com. Mungkin hal yang sama pernah dilakukan oleh banyak penggiat facebook dan twitter. Mereka langsung menulis dan pada beberapa menit berikutnya dipublish. Kecenderungan yang sama dapat dilihat pada sekitar sepuluh tahun lalu pada saat mailing-mailing list marak dan ramai digunakan, para anggota mailing list langsung menulis di emailnya masing-masing untuk saling menanggapi tulisan rekan-rekannya, bisa berupa opini atau karya puisi. Berbalas puisi di mailing list sudah terjadi sepuluh tahun lalu. Berbalas puisi dan menuangkan opini di kolom komentar facebook dan blog merupakan kecenderungan terbaru. Contoh komentar dari seorang penggiat sastra di facebook (yang saya amati sangat produktif menulis di facebook.com), yaitu Dimas Arika Miharadja:

"Komunitas semacam facebook, jika tak berhati-hati bisa bikin mabuk. Kenapa? Setiap mempublish puisi, esai, atau apapun juga terkesan dihadapi (diresepsi, diapresiasi) secara meriah dengan aneka puja-puji, minimal mengacungkan jempol tanpa kata-kata. Komunitas facebook harus dicermati antara ada dan tiada. Adanya komunitas itu baru berguna bila ada keseriusan dalam melakoni hidup dan kehidupan berkarya. Tiadanya komunitas di ruang maya ini bisa jadi disebabkan lantaran orang-orang yang berkerumun di situ tidak ada tali pengikatnya yang jelas (suka datang dan pergi tak kembali, suka-suka hati).

Apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Sabar, nanti dulu mas, masak terburu-buru. Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.

Melalui media maya ini juga mulai dapat diidentifikasi beberapa person yang bisaa memanfaatkan media ini sebagai sosialisasi-komunikasi-interaksi karya yang digubahnya. Lantaran karya sastra itu peronal atau individual sifatnya, aneka respon terhadap karya yang dipublish haruslah diiringi sikap berhati-hati. Puja-puji bisa memandegkan kreativitas, mabuk pujian, dn lepas kontrol. Sebaliknya, penyampaian kecaman atau asal kritik tanpa argumentasi yang jelas bisa jadi akan menghentikan produktivitas bagi yang tidk siap dan tidak tahan banting.

Intinya, Komunitas dan Media maya, keduanya sama-sama semu. Semua bergantung pada individu pelakunya"


Inilah salah satu contoh, bagaimana interaksi di dunia maya dapat berlangsung cepat. Opini bisa dibalas opini dalam waktu singkat. Sedangkan media konvensional seperti koran cetak, majalah cetak, jurnal cetak (segala yanmg harus dicetak) membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sehari. Komentar dari Dimas Arika Mihardja ini hanya sekitar 5-10 menit sejak artikel saya publikasikan di facebook.



Usulan Pengembangan Komunitas dan Media

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengusulkan beberapa hal untuk pengembangan komunitas dan media saat ini dan di masa mendatang. Tanpa menafikan keberadaan koran, majalah dan buku sebagai media sastra, saya mencoba mengusulkan pengembangan sastra melalui komunitas sastra di internet. Teknologi internet yang semakin terjangkau oleh semua kalangan memberikan peluang yang besar untuk semakin menggairahkan para penulis sastra untuk menulis. Penulis sastra dari generasi yang lahir tahun 70-an dan 90-an merupakan generasi-generasi yang sangat melek internet. Mereka bisa online internet sepanjang hari menggunakan handphonenya.

Berdasar pengalaman berinteraksi di berbagai jaringan komunitas sastra di internet selama ini saya menemukan banyak penulis pemula yang ingin belajar menulis di internet. Para pemula ini mencari guru yang mau mengajari mereka menulis. Tapi para penulis "mapan" di dunia nyata susah untuk diminta ilmunya (pengalaman 10 tahun lalu, dan mungkin sekarang). Mungkin kesibukan para penulis "mapan" yang menyebabkan mereka susah untuk ditanya ini itu hal hal teknis tentang penulisan. Pengalaman waktu di cybersastra, ada suatu forum akhirnya para pemula ini saling membantai karya teman-temannya (tanpa guru!). Saya melihat pembantaian karya antar teman itu bisa menjadi gesekan kreatif yang mendorong menjadi lebih baik. Beberapa alumni forum cybersastra karya-karyanya sudah banyak tampil di pentas sastra Indonesia. Mungkin kalau saling membantai karya menjadi suatu yang mengerikan, bisa dicari format lain.

Tuntutan para sastrawan "mapan" 12 tahun lalu terhadap sastra di internet menurut saya terlalu cerewet. Mereka meminta karya sastra yang berbeda dengan karya sastra media koran, majalah dan buku. Mereka meminta untuk karya-karya yang selektif yang hadir di internet. Seperti karya yang muncul di koran dan majalah. Tapi tantangan itu harus diterima! Ada upaya rekan-rekan penggiat sastra di internet untuk memaksimalkan media yang ada, misalnya dengan mengotak atik HTML, script dll. tapi masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Perkawinan berbagai media seperti video, audio, teks bisa menjadi arah pengembangan ke depan. Selain itu satu hal yang penting, yang mungkin jarang kita perhatikan, ketersediaan bahan bacaan dalam teks digital dari beberapa terbitan cetak sastra Indonesia masih sedikit ditemui. Saya mengimpikan suatu ketika kita memiliki perpustakaan maya (semacam PDS HB Jassin di dunia nyata) , juga database biografi dan karya-karya para penulis sastra di Indonesia, yang dapat diakses hanya menggunakan jaringan internet melalui handphone. Saya percaya, itu akan terjadi!



Malang, 2010

Popular posts from this blog

Terbit! Buku Puisi: Cinta, Rindu & Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya

Kemarau